TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal mewajibkan pemotongan penghasilan pekerja sebesar 3 persen untuk Tapera. Kebijakan ini diumumkan usai Presiden Joko Widodo alias Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera. Namun, kebijakan ini mendapatkan tanggapan dari para pengamat dan ekonom.
Center of Economic and Law Studies (Celios)
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira merespons, Tapera memberatkan pekerja lantaran diwajibkan ikut dalam kepesertaannya. Iuran Tapera juga relatif besar dengan penghitungan persentase dari gaji.
"Jika pekerja tersebut berpendapatan di atas bayaran minimum regional, maka setiap bulan penghasilan pekerja itu dipotong 2,5 persen," kata Bhima dalam Policy Brief Tapera untuk Siapa? Menghitung Untung Rugi Kebijakan Tapera.
Kondisi ini juga menakut-nakuti industri pengolahan lantaran banyak pabrik terpaksa menutup operasional. Celios pun menyarankan pemerintah mengubah kebijakan ini agar hanya untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja umum dan pekerja mandiri berkarakter sukarela.
Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas)
Direktur Ideas, Yusuf Wibisono menyatakan, pemerintah kudu mempunyai terobosan baru memenuhi kebutuhan rumah rakyat tanpa melalui pemotongan penghasilan pekerja. Menurut Yusuf, backlog atau kesenjangan kebutuhan dan pasokan rumah di Indonesia mencapai 18 persen. Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, backlog itu sekitar 12,7 juta keluarga.
“Pemerintah sebaiknya membatalkan kebijakan potongan penghasilan pekerja untuk Tapera dan konsentrasi pada upaya memenuhi kebutuhan rumah 18 persen family Indonesia menuju zero backlog,” kata Yusuf, pada 29 Mei 2024.
Yusuf juga memberikan saran kebijakan, ialah mengembalikan Kementerian Perumahan Rakyat, menyediakan tanah dan menghapus biaya tinggi pembangunan rumah rakyat, meminimalkan biaya produksi dan nilai jual rumah rakyat diikuti meningkatkan daya beli, merevitalisasi BUMN, serta mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku kembang KPR.
AS Property Advisory
Pengamat AS Property Advisory, Anton Sitorus mengkritisi kebijakan pemerintah mengenai Tapera. Ia menilai tanggungjawab tersebut cukup untuk ASN alias pegawai BUMN, tidak perlu pekerja swasta.
“Menurut saya, (karyawan swasta) jangan diwajibkan, tetapi jika mau ikut (Tapera), silakan. Namanya Tabungan. Kalau bisa, ya, silakan” kata Anton, pada 28 Mei 2024.
Anton mengatakan, tanggungjawab Tapera bukan hanya membebani pekerja, melainkan pengusaha lantaran menanggung iuran 0,5 persen. Ia juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali patokan tersebut sebelum deadline pada 2027. Pasalnya, ada indikasi tumpang tindih dengan faedah BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah juga kudu menegaskan tentang kepastian lantaran Tapera bukan tabungan nan bisa diakses melalui perbankan.
Ekonom, Poltak Hotradero
Ekonom Poltak Hotradero mengatakan, skema izin Tapera kudu ditinjau kembali. "Pendapat pribadi ya, perlu di-review lantaran memang seperti nan saya sebutkan ini sebenarnya bagian suplemen dari program nan sudah ada," ujarnya, pada 30 Mei 2024.
Lebih lanjut, Poltak menguraikan, Tapera awalnya ibaratkan suplemen untuk mempercepat penyediaan rumah bagi masyarakat tidak mampu. Namun, Indonesia tidak bisa tumbuh lebih cepat, lebih baik andaikan tabungan biaya masyarakat tidak tumbuh. Sebenarnya, Tapera mempunyai tujuan baik, tetapi pengawasannya perlu dipertegas.
RACHEL FARAHDIBA R | IKHSAN RELIUBUN | RIRI RAHAYU | ANNISA FEBIOLA
Pilihan Editor: Moeldoko Sebut Tapera Tidak bakal Ditunda, Ini Kritik Mahfud Md: Hitungan Matematisnya Tidak Masuk Akal