TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan kepastian tentang kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) bakal lebih jelas saat kabinet baru presiden terpilih Prabowo Subianto terbentuk. Begitu juga ketika dia ditanya apakah PPN bakal naik menjadi 11 alias 12 persen.
“Berilah Pak Prabowo kesempatan menjadi presiden dulu,” kata Thomas nan juga keponakan Prabowo itu di aktivitas media gathering Kementerian Keuangan 2024 nan berjalan di Serang, Banten pada Rabu, 25 September 2024.
Kenaikan tarif PPN nan merupakan program perpajakan Presiden Jokowi bakal dilanjutkan di masa pemerintahan Prabowo selaku presiden terpilih periode 2024 – 2029. Prabowo diperkirakan bakal mengerek tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen per Januari 2025, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Tarif PPN nan sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan bakal naik lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) UU HPP.
Thomas mengatakan kenaikan PPN bakal menjadi keputusan Prabowo dan kabinetnya nan bakal datang. “Yang krusial Bapak Presiden terpilih sudah terinformasikan mengenai perihal tersebut, dan pastilah kelak bakal ada penjelasan lebih lanjut jika sudah ada kabinet nan terbentuk,” ujar wakil dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu.
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengaku belum bisa memastikan apakah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bakal naik 11 alias 12 persen tahun depan. Said lantas menyarankan agar pemerintah selanjutnya mengulas kembali kebijakan itu di kuartal I 2025.
“Kita lihat ke depan apakah PPN ini ke 11 alias ke 12 (persen),” kata dia saat ditemui usai rapat paripurna di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat pada Kamis, 19 September 2024. Ia berbicara bahwa kenaikan PPN tidak serta-merta bakal diterapkan, meski dasar hukumnya ialah UU HPP bakal bertindak tahun depan.
Iklan
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu mengusulkan agar dilakukan penghitungan keahlian daya beli masyarakat tahun depan sebelum menerapkan kenaikan PPN. Selain itu, menurut dia, akibat kebijakan tersebut terhadap pendapatan tenaga kerja juga perlu dipertimbangkan.
“Menurut perkiraan saya, alangkah baiknya, alangkah eloknya naik alias tidak naiknya itu dibahas kelak di kuartal I 2025 nan bakal datang,” tuturnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti sempat memaparkan bahwa rencana peningkatan PPN sekitar 12 persen bersiko memicu kontraksi ekonomi. Esther menjelaskan bahwa ruang fiskal Indonesia sekarang mini lantaran beberapa faktor, dan peningkatan PPN hanya bakal berujung pada penurunan ekonomi.
“Kalau ke depannya diberikan kebijakan kenaikan tarif PPN, maka nan terjadi adalah rupanya kenaikan tarif ini membikin perekonomian terkontraksi,” kata ahli ekonomi itu dalam obrolan publik daring berjudul “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat” pada Kamis, 12 September 2024.
Hal itu berasas kajian Indef pada 2021 saat menghitung skenario kenaikan tarif PPN menjadi 12,5 persen. Dengan adanya kontraksi ekonomi imbas dari kenaikan PPN, artinya bayaran nominal, pendapatan riil, Indeks Harga Konsumen (IHK), pertumbuhan ekonomi, konsumsi masyarakat, serta ekspor-impor semuanya bakal menurun.
Pilihan Editor: Mumpung Pajak Gratis sampai Desember 2024 dan PPN Naik Jadi 12 Persen Tahun Depan, Waktunya Beli Rumah?