Warisan Utang dari Zaman Kumpeni sampai Jokowi, Diprediksi Tahun Depan Jadi Rp10 Ribu Triliun

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Faisal Basri memproyeksikan utang Indonesia bisa mencapai Rp10 kuadriliun alias Rp10 ribu triliun pada 2025. Angka ini, kata dia, merupakan lonjakan signifikan dari utang tahun 2024 nan diperkirakan mencapai Rp8,7 kuadriliun hingga akhir tahun.

"Sampai akhir tahun itu Rp 8,7 kuadriliun. Nah tahun depan itu nambah. Kemungkinan bisa Rp10 kuadriliun," kata Faisal dalam obrolan nan diadakan oleh Bright Institute "Review RAPBN 2025 Ngegas Utang!" di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.

Data nan dipaparkan Faisal menunjukkan utang pemerintah pusat meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi rata-rata hanya parkir di nomor 5 persen, jauh di bawah capaian masa pemerintahan sebelumnya nan pernah mencapai nomor 6,8 persen. Bahkan, untuk tahun 2023 dan 2024, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan stagnan di nomor 5,2 persen.

Sejak awal pemerintahan Jokowi pada 2014, utang pemerintah pusat meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2014, utang pemerintah tercatat sebesar Rp2,61 kuadriliun dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 24,7 persen. Bertambahnya kebutuhan pembiayaan untuk beragam program pembangunan dan pemulihan ekonomi membikin utang terus bertambah.

Pada 2015, utang pemerintah pusat naik menjadi Rp3,17 kuadriliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 27,5 persen. Pada 2016, utang tercatat sebesar Rp3,52 kuadriliun dengan rasio utang sebesar 28,3 persen. Pada 2017, utang meningkat menjadi Rp3,99 kuadriliun dengan rasio utang 29,4 persen.

Pada 2018, utang pemerintah Rp4,47 kuadriliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,8 persen. Angka ini terus meningkat pada 2019 menjadi Rp4,78 kuadriliun dengan rasio utang 30,2 persen. Peningkatan paling signifikan terjadi pada tahun 2020, di mana utang pemerintah melonjak drastis menjadi Rp6,08 kuadriliun dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 39,4 persen. Lonjakan ini terutama disebabkan oleh kebutuhan pembiayaan besar untuk menangani akibat pandemi COVID-19.

Pada 2021, utang pemerintah pusat kembali meningkat menjadi Rp6,91 kuadriliun dengan rasio utang 40,7 persen. Tren kenaikan bersambung hingga 2022, di mana utang tercatat sebesar Rp7,73 kuadriliun dengan rasio utang 39,5 persen.

Memasuki 2023, utang pemerintah mencapai Rp8,14 kuadriliun, namun rasio utang terhadap PDB turun menjadi 39,1 persen. Proyeksi untuk 2024 menunjukkan utang bakal terus meningkat menjadi Rp8,7 kuadriliun dengan rasio utang sebesar 38,5 persen.

"Utang pemerintah di era Jokowi itu sampai 2024 aja naik 3,3 kali," kata Faisal.

Utang dari Zaman Kumpeni sampai SBY

Masalah mewariskan utang, bukan hanya terjadi era Indonesia Merdeka.  Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia dengan mewariskan utang. Dalam Konferensi Meja Bundar di Denhaag pada  23 Agustus 1949, Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI dengan syarat Indonesia kudu menanggung utang sebesar 1,13 miliar dolar AS alias 4,3 miliar gulden. 

Utang ini diwariskan pada pemerintahan Presiden Soekarno. Hal ini membikin defisit APBN membengkak hingga mencapai Rp 9 miliar. Pada periode 1959-1965, pemerintah menerima pinjaman dari Uni Soviet, US Exim Bank, dan IMF. 

Hingga akhir pemerintahan Soekarno, utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 794 miliar alias setara dengan 2,4 miliar dolar Amerika Serikat. Artinya, sekitar 29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada saat itu.

Pada masa kepemimpinan Soeharto (Maret 1967-Mei 1998), utang pemerintah mencapai Rp 551,4 triliun alias setara 57,7 persen dari PDB.

Kemudian berganti pemerintahan Presiden BJ Habibie nan berjalan selama 17 bulan. Utang luar negeri pemerintah naik Rp 387,4 triliun menjadi Rp 938,8 triliun. Saat itu, rasio utang pemerintah mencapai 85,4 persen dari PDB. 

Pada periode Abdurrahman Wahid (1999-2001), utang Indonesia naik menjadi Rp 1.271,4 triliun alias US$ 122,3 miliar (setara 77,2 persen dari PDB).

Kala era kepresidenan berganti ke Megawati Soekarnoputri (2002-2004), utang pemerintah tercatat Rp 1.298 triliun alias US$ 139,7 miliar, dengan rasio utang 56,5 persen dari PDB.  

Iklan

Estafet kepresidenan berganti ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nan berkuasa selama dua periode, ialah periode I (2004-2009) dan periode II (2009-2014). Pada akhir kepemimpinan SBY, utang mencapai Rp 2.608,8 triliun alias US$ 209,7 miliar dengan rasio utang 24,7 persen dari PDB.

Berikutnya: Sri Mulyani: Rasio Utang Indonesia Terendah di ASEAN dan G20

  • 1
  • 2
  • Selanjutnya

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis