6 Perusahaan Tekstil Besar Gulung Tikar dan 7.000 Pekerja Terdampak, Pengusaha: Industri TPT Tinggal Menghitung Hari

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Solo -  Asosiasi Pertekstilan Indonesia alias API membeberkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) secara nasional nan sekarang rata-rata berada di ujung tanduk.

Wakil Ketua API Jawa Tengah, Liliek Setiawan, menyatakan, perihal tersebut terjadi seiring diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 tahun 2024 nan mengatur soal impor. Namun pada akhirnya beleid justru memperburuk kondisi industri TPT itu hingga berkapak ke industri kain, benang, dan serat sehingga tak lagi bisa meningkatkan utilisasinya nan sekarang hanya berkisar 45 persen. 

Liliek menjelaskan, saat ini bukan lagi dumping yang kudu dihadapi oleh industri tekstil dalam negeri tapi sudah mengarah pada persaingan tak sehat berupa predatory pricing. Strategi terlarangan ini menjual peralatan di bawah nilai nan merupakan salah satu trik perdagangan nan bermaksud untuk monopoli. 

"Sistem perekonomian dalam negeri saat ini kandas dalam melindungi pelaku maupun pasar dalam negeri," ujar Liliek dalam obrolan sekaligus konvensi pers di Kantor API Jawa Tengah di Kota Solo, Selasa, 25 Juni 2024.

Kegiatan itu turut dihadiri perwakilan pengurus nasional API bagian sumber daya manusia (SDM) Harrison Silaen, Direktur Akademi Tekstil (AK Tekstil) Solo Wawan Ardi Subakdo, dan sejumlah personil API Jawa Tengah. 

Liliek mengatakan saat ini Indonesia bukan lagi satu-satunya negara pengekspor hasil industri TPT di dunia. Selain negara-negara Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar di area Indocina nan merupakan negara tujuan relokasi industri tekstil Cina, India, Bangladesh dan Pakistan alias IPB, juga menjadi pesaing Indonesia.

"Indonesia dengan jumlah masyarakat 270 juta, menjadi salah satu pasar tujuan utama produk Cina. Di saat membanjirnya produk impor dengan praktik predatory pricing, perlindungan market di dalam negeri dalam corak tarif maupun non tarif terbilang sangat lemah," kata dia.

Kondisi tersebut, menurut Liliek, bakal membawa akibat nan bisa mematikan pelaku upaya lokal, mulai industri besar apalagi termasuk UMKM. Fakta nan sudah terlihat saat ini, lanjut dia, satu per satu perusahaan tekstil pun mulai bertumbangan. Padahal selama ini industri TPT termasuk padat karya nan menyerap ribuan pekerja.

Data API Jateng menunjukkan minimal 6 perusahaan tesktil skala besar nan gulung tikar dan total pekerja terdampak ada lebih dari 7.000-an orang. "Cukup signifikan. Perusahaan tekstil nan tutup, info terakhir di Ungaran. Jadi setelah ada 6 perusahaan di kloter pertama, berikutnya kloter kedua ada 4 perusahaan lagi. Total 10 perusahaan nan masuk personil API Jatemg melakukan penutupan usaha," ungkap dia. 

Lebih lanjut Liliek menilai adanya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 nan merupakan revisi dari Permendag Nomor 36 Tahun 2023 justru lebih berpihak pada importir umum ialah pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API U) daripada mengedepankan upaya negara untuk menggenjot industri TPT domestik. 

"Dampaknya, bakal membikin Indonesia tenggelam kebanjiran produk garmen alias tekstil impor," ungkap Lilik.

Iklan

Ia cemas gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) para pekerja industri TPT itu bakal berlanjut. "Negara dalam perihal ini harusnya datang untuk memberi solusi. Kalau tidak, ya sudah, industri TPT hanya tinggal menghitung hari," ucap dia. 

Harrison selaku perwakilan pengurus nasional menyampaikan perihal senada. Menurutnya saat ini rata-rata pelaku upaya tekstil tengah dalam kondisi sulit. Bahkan jika memandang dari kondisi selama sembilan tahun terakhir, dia mengatakan kondisi di 2023-2024 ini merupakan kondisi nan paling jelek untuk bumi pertekstilan dalam negeri. 

"Banyak aspek nan mempengaruhi, baik aspek pasar, teknologi, izin dan lainnya. Industri tekstil nasional ini ibaratnya sekarang sedang sakit dan butuh obat untuk secepatnya meredakan sakit," ungkap dia.

Dia menyampaikan dari jejeran pengurus API telah menempuh upaya ke DPR maupun berkomunikasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag). API meminta agar masalah nan menimpa kalangan industri tekstil dihadapi unsur pentahelix dengan bahasa nan sama untuk merumuskan solusi nan komprehensif.

"Kita berambisi ada perlindungan seperti negara lain punya sistem perlindungan terhadap industri nasionalnya. Bentuknya berupa izin sebagai pengamanan pandai nan tidak menyalahi WTO," tutur Harrison.

Namun diungkapkannya, upaya nan telah dilakukan oleh API sejauh ini tidak menemukan hasil. "Ketika pengurus API negosiasi ke Kemendag soal tidak diajak bicara sebelum Permendag Nomor 8 tahun 2024 terbit, hanya mendapat jawaban sudah terlambat," ungkap dia.

Padahal, jika sampai produk TPT membanjiri pasar nasional, dia memastikan nan terancam bukan hanya industri tetapi juga sumber daya manusianya (SDM). 

"Karena industri tekstil nan merupakan perusahaan padat karya, menyerap 43 persen dari SDM di Indonesia," jelasnya

API berambisi dalam persoalan ini ada win-win solution tanpa mengorbankan industri manufaktur TPT nan mendukung posisi Indonesia menjadi Negara Industri terbesar kelima di G20. "Kami tidak menyalahkan pihak mana pun, ini kudu bergerak bersama. Kami, API, juga tetap berjuang untuk berkomunikasi dengan pihak lain dan memperbaiki keahlian kami di industri," kata Harrison.

Pilihan Editor: Pabrik Tutup dan PHK Ribuan Pekerja, Ini Daftar Perusahaan Tekstil Terbesar di Indonesia

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis