Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah master norma dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBH-PPS) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ikut menyoroti putusan kasus dugaan korupsi nan melibatkan Mardani H. Maming.
Dalam sebuah pendapat norma nan mereka susun, para mahir norma ini memberikan kritik terhadap proses peradilan nan telah dilalui mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut.
Pendapat norma nan ditandatangani oleh Aristo Pangaribuan, Abdul Toni, Ludwig Kriekhoff, Puspa Pasaribu, dan Maria Dianita Prosperiani menggarisbawahi beberapa poin penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diantaranya adalah ketidakjelasan pertimbangan pengadil mengenai unsur "menerima hadiah", penggunaan bukti nan tidak sah, serta penerapan standar pembuktian nan dinilai terlalu rendah dalam kasus Maming.
Para master mencatat, bahwa pengadil mengabaikan fakta-fakta norma nan menguntungkan terdakwa dan lebih mempertimbangkan hal-hal nan menguntungkan Penuntut Umum, nan berpotensi menghasilkan putusan nan keliru.
"Hakim seakan-akan terlalu mengandalkan konklusi jaksa penuntut umum tanpa melakukan kajian nan mendalam terhadap seluruh bukti nan ada," ujar Aristo Pangaribuan selaku ketua LKBH-PPS FH UI dikutip Selasa (29/10).
Senada juga disampaikan Abdul Toni nan menyoroti fakta-fakta menguntungkan Mardani Maming, namun diabaikan oleh majelis hakim. Hal ini, menurut mereka, mengindikasikan adanya ketidakadilan dalam proses peradilan.
Dengan adanya temuan tersebut, para mahir norma ini mendukung upaya peninjauan kembali (PK) nan diajukan oleh Mardani Maming. Tujuan utama dari PK ini adalah untuk mendapatkan keadilan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan norma nan terjadi dalam putusan sebelumnya.
"Kami berambisi MA dapat mengabulkan permohonan PK ini dan melakukan pemeriksaan ulang terhadap perkara ini secara menyeluruh," kata Abdul Toni.
Kasus Mardani Maming ini bukan hanya menyangkut nasib seorang individu, tetapi juga menyangkut kualitas peradilan di Indonesia. Kritik nan disampaikan oleh para mahir norma UI ini menjadi sorotan krusial bagi penegakan norma di tanah air.
Publik berambisi agar MA dapat memberikan respons nan bijak terhadap permohonan PK ini dan memastikan bahwa keadilan betul-betul ditegakkan.
Sebelumnya, Aktivis kewenangan asasi manusia senior, Todung Mulya Lubis, menyoroti terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat) dalam penanganan perkara korupsi atas nama Mardani Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan periode 2010-2015 dan 2016-2018.
Menurutnya, penjatuhan pidana terhadap Mardani Maming merupakan perihal nan dipaksakan lantaran tidak didasarkan pada perangkat bukti nan memadai.
"Bentuk miscarriage of justice nan paling mencolok adalah tidak dipenuhinya kewenangan atas fair trial. Hakim melakukan cherry pick terhadap perangkat bukti nan dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi nan tidak langsung (testimonium de auditu) lantaran perihal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, daripada mempertimbangkan perangkat bukti lain nan menyatakan perihal sebaliknya," kata dia.
"Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika perangkat bukti nan ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti" papar sosok nan berkawan dipanggil Todung ini.
Todung juga menjelaskan bahwa pengadil memaksakan bangunan norma dalam peristiwa-peristiwa norma nan terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
"Pemaksaan bangunan norma nan paling terlihat adalah menjadikan untung dan pembagian hasil upaya sebagai pemberian hadiah.
Sebelumnya, support mengenai kasus ini juga datang dari Akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Hendry Julian Noor dan tim Hukum UGM.
Menurutnya bukti-bukti nan diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi. Salah satu poin krusial nan dikritisinya adalah penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Ia beranggapan bahwa tindakan Mardani Maming tetap berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala wilayah dan tidak melanggar prosedur nan berlaku.
"Putusan ini mengkhawatirkan lantaran mengaburkan pemisah antara tindakan nan berkarakter administratif dengan tindak pidana korupsi," ujarnya saat memberi keterangan mahir mengenai kekeliruan dan kekhilafan nan nyata pengadil dalam mengadili perkara Mardani Maming.
"Terdapat kecenderungan untuk menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara jeli unsur-unsur pidananya," tuturnya.
(inh)