TEMPO.CO, Jakarta - Draf revisi RUU Penyiaran atau Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran nan sedang digodog DPR menuai kontroversi. Pasalnya dalam pasal 56 ayat 2, disebut ada larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.
Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan bahwa draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sesuai dengan kode etik jurnalistik.
"Jadi, itu nan diatur di RUU Penyiaran dalam konteks jurnalistik, sesuai dengan nan diatur dalam kode etik jurnalistik," kata Bobby dalam keterangan nan diterima di Jakarta, Senin, 13 Mei 2024.
Bobby mengemukakan perihal itu ketika merespons dugaan beberapa pasal dalam draf revisi UU Penyiaran dapat menghalang kebebasan pers di Indonesia.
"Ini sama halnya dengan diskursus substansi dalam revisi UU ITE, perihal lisan dan tulisan sudah diatur dalam KUHP sehubungan dengan hate speech dan lain-lain, hanya diperluas dalam format digital," katanya.
Ia menegaskan tidak ada perubahan dalam norma maupun patokan kode etik jurnalistik.
"Tidak ada perubahan norma nan diatur dalam kode etik jurnalistik dalam format mass media, diteruskan dalam format siaran," ujarnya.
Ditegaskan pula bahwa aktivitas siar di gelombang siaran masuk ranah kode etik jurnalistik. Namun, gelombang giat siaran di gelombang telekomunikasi over the top (OTT) "dikecualikan".
"Jangan sampai ada upaya 'pengecualian', aktivitas jurnalistik dalam OTT nan mau dibedakan namalain tanpa kode etik jurnalistik. Kalau aktivitas siar di gelombang siaran, masuk ranah kode etik jurnalistik. Akan tetapi, jika giat siaran di gelombang telekomunikasi (OTT), 'dikecualikan'," tuturnya.
Bobby memastikan publik bakal ikut dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi UU Penyiaran untuk memastikan sejalan dengan prinsip kemerdekaan pers.
"Publik pasti dilibatkan, hal-hal di atas ada nan keluar dari kode etik jurnalistik, aspirasi ini kudu dipenuhi lantaran semangatnya kami mau masyarakat mendapatkan perihal positif dari aktivitas penyiaran, dan melindungi dari perihal nan kontraproduktif, spekulatif nan mengarah pada hal-hal negatif," kata dia.
Pendapat Menkominfo
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mempertanyakan adanya larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, sebagaimana nan termuat pada draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran.
Iklan
"Jurnalistik kudu investigasi, masa dilarang? Jurnalistik kudu terus berkembang lantaran tuntutan masyarakat juga berkembang," ujar Budi Arie di Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024.
Pada draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, terdapat salah satu poin nan menyatakan larangan penayangan ekslusif jurnalistik investigasi.
Budi Arie menyampaikan bahwa draf Revisi UU Penyiaran tersebut hingga saat ini tetap terus digodok dan bergulir di DPR RI.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia telah menyatakan menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, nan saat ini sedang bergulir di DPR RI tersebut.
"AJI menolak. Pasal-pasalnya banyak bermasalah. Jadi jika dipaksakan bakal menimbulkan masalah," kata Pengurus Nasional AJI Indonesia Bayu Wardhana.
Dia pun menyarankan jika UU itu kudu direvisi, sebaiknya dilakukan oleh personil DPR periode selanjutnya, bukan mereka nan di periode saat ini. Alasannya, dengan waktu nan tinggal beberapa bulan lagi, serta tetap dibutuhkan pembahasan nan lebih mendalam.
Persatuan Wartawan Indonesia alias PWI mengkritik sejumlah pasal nan termuat pada draft Rancangan Undang-Undang alias RUU Penyiaran. Pasalnya, sejumlah Pasal tersebut dinilai berpotensi menghalang tugas jurnalistik.
Ketua Umum PWI, Hendry Ch Bangun, menyebut, larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi sebagaimana nan dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu, berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Hendry mengatakan, selama ini semua buletin di seluruh platform masuk ke wilayah UU Pers dan ditangani oleh Dewan Pers, andaikan ada sengketa alias pengaduan masyarakat. "Kalau UU Penyiaran jenis baru ini tetap seperti ini tentu ada tumbukan antara UU Pers dan UU Penyiaran nan baru," ujar Hendry saat dihubungi Tempo pada Senin, 13 Mei 2024.
ANTARA | TIM TEMPO
Pilihan Editor Begini Fasilitas Layanan KRIS Pengganti Kelas BPJS Kesehatan