TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan usul ke Presiden Prabowo untuk meningkatkan iuran BPJS Kesehatan, lantaran adanya akibat kandas bayar nan bisa dialami oleh perusahaan pada 2026 akibat pengeluaran nan lebih besar dibandingkan pemasukan dari pembayaran premi peserta. “Kemungkinan bisa (naik), tapi itu semua kan nunggu tanggal mainnya,” ucap Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Senin, 11 November 2024.
Menurut dia, tarif iuran BPJS Kesehatan sebenarnya bisa dinaikkan setiap dua tahun sekali sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Jaminan Kesehatan. Namun sejak 2020, iuran belum dinaikkan. “Ini sudah 2 periode sejak 2020 ya, itu (tarif) belum disesuaikan,” kata Ali.
Meski sudah diatur Peprpres, keputusan final soal iuran BPJS Kesehatan berada di tangan Presiden Prabowo Subianto beserta beberapa kementerian dan lembaga mengenai lainnya. “Persoalan naik alias enggak itu presiden. Ini kan agak politis,” kata Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby.
Mahlil sendiri menyebutkan, internal dari perusahaan sebetulnya sudah mempunyai kalkulasi ihwal berapa besaran kenaikan iuran nan ideal. Namun, Mahlil menolak untuk menyebut besaran nomor tersebut.
Menurut Ali Ghufron Mukti aset neto BPJS Kesehatan tetap sehat, meski ada akibat defisit, dan memastikan pihaknya lancar dalam bayar rumah sakit pada 2025.
Ghufron mengatakan, kepercayaan publik nan tinggi dan pemakaian alias utilisasi jasa BPJS nan semakin masif menjadi penyebab akibat defisit, di mana sekarang sekitar 1,7 juta orang per hari menggunakan jasa tersebut.
"Dulu hanya 252 ribu. Sekarang, sehari 1,7 juta per hari. Dan semua ini setahun bisa 606 juta lebih. Satu orang bisa lebih, setahun lebih dari sekali (pemakaian)," katanya ketika ditemui usai rapat berbareng DPR di Jakarta, Rabu, 13 November 2024.
Iuran Tidak Naik, tapi Ada Cost Sharing
Solusi lainnya, menurut Ghufron, adalah cost sharing, nan diterapkan di beberapa negara, di mana orang nan datang ke rumah sakit bayar sedikit dengan jumlah nan tidak memberatkan.
"Tujuannya dua. Satu, mengurangi utilisasi. Dua, ngumpulin duit. Artinya untuk rumah sakit," katanya.
Dia mencontohkan, orang lanjut usia di Indonesia semakin banyak, dan mereka kesenyapan lantaran semua keluarganya sibuk. Daripada kebingungan, katanya, mereka ke rumah sakit, lantaran selain gratis, mereka berjumpa dengan perawat-perawat nan ramah dan membikin betah.
Dalam solusi cost sharing, para lansia ini diminta untuk bayar sedikit, misalkan Rp 15 ribu alias Rp 20 ribu. Dia menilai, perihal tersebut bakal membikin mereka berpikir kembali dan membatasi diri dalam penggunaan BPJS.
DPR: Kenaikan Iuran Tak Bisa Dihindari
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengatakan kenaikan iuran BJPS Kesehatan adalah sebuah keniscayaan, namun perlu didahului dengan peningkatan jasa kesehatan agar dapat dimaklumi publik.
Hal itu dia sampaikan sebagai respons dari pernyataan akibat defisit nan dihadapi BPJS Kesehatan pada Agustus 2025 jika tidak ada intervensi apapun. Dia menyebutkan, jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 98 persen masyarakat Indonesia, ditambah lagi inflasi kesehatan terus naik. Edy menyebutkan, tercatat pada 2023 inflasi medis mencapai 13,6 persen.
Dalam keterangan nan diterima di Jakarta, Rabu, Edy menyatakan bahwa masalah esensial soal kesempatan defisit pada BPJS Kesehatan adalah soal iuran. Terakhir, katanya, kenaikan iuran dilakukan pada 2020. Memang setelah masa itu, BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit. Apalagi kunjungan ke faskes juga minim.
"Namun sekarang seiring dengan pertambahan peserta, kunjungan ke faskes juga meningkat," ujarnya.
“Jadi masyarakat jika sedikit sakit, ke faskes. Kalau dulu takut lantaran tidak bisa membayar. Sehingga tidak heran jika beban BPJS Kesehatan juga besar,” katanya menambahkan.
Dia menilai, peningkatan jasa kesehatan perlu partisipasi pemerintah, dalam perihal ini Kementerian Kesehatan.
"Lalu gimana dengan peserta penerima support iuran (PBI)? Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kudu mengkaji. Hasilnya diserahkan kepada pemerintah untuk selanjutnya dijalankan," katanya.
Menurut dia, pihak DJSN kudu mau berkomunikasi dengan Komisi IX agar kenaikan iuran peserta PBI dan Mandiri tidak menjadi masalah bagi fiskal pemerintah dan daya beli masyarakat.
Selain itu, Edy menyebut bahwa tunggakan iuran peserta berdikari perlu diperhatikan. Adanya kenaikan bisa jadi momok bagi mereka nan menunggak. Dia pun mengusulkan relaksasi tunggakan iuran peserta mandiri, seperti penghapusan untuk mereka nan miskin alias potongan nilai bagi nan mampu.
Dia menjelaskan, saat ini ada 14 jutaan peserta nan menunggak dan tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan nan aktif.
Edy juga menyoroti ketepatan subsidi, di mana pemerintah selama ini memberikan subsidi biaya pada PBI. Namun, katanya, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, ditemukan 35 persen peserta PBI adalah pekerja penerima bayaran (PPU).
Menurutnya, perihal ini merupakan fraud, sehingga pemerintah seperti Kemensos dan BPJS Kesehatan kudu mengawasi perihal ini sehingga pengusaha bayar iuran untuk PPU sebesar 4 persen dan pekerjanya bayar 1 persen untuk meningkatkan pendapatan iuran JKN.