BRI Jadi BUMN dengan Setoran Dividen Terbesar ke Negara

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

INFO BISNIS – PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk alias BRI menjadi BUMN dengan setoran dividen terbesar ke kas negara diantara perusahaan BUMN lainnya. Hal itu berasas laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nan diolah selama periode 2014-2023, BBRI, seperti dikutip bisnis.com, menjadi emiten dengan setoran dividen paling besar ialah Rp 90,79 triliun.

Adapun setoran dividen BRI ke kas negara selama periode 2014-2023 berkisar di rentang Rp3,6 triliun hingga Rp23,23 triliun. Jika dirinci, setoran dividen BRI ke kas negara sejak tahun 2014:

  • 2014: Rp3,60 triliun
  • 2015: Rp4,13 triliun
  • 2016: Rp4,36 triliun
  • 2017: Rp6,00 triliun
  • 2018: Rp7,47 triliun
  • 2019: Rp9,52 triliun
  • 2020: Rp11,77 triliun
  • 2021: Rp6,92 triliun
  • 2022: Rp14,04 triliun
  • 2023: Rp23,23 triliun

“Ini adalah bukti nyata bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nan mempunyai kegunaan agent of development dan value creator dapat menjalankan peran economic dan social value secara simultan,” kata Direktur Utama BRI Sunarso.

Melalui pembayaran pajak dan dividen, untung tersebut bakal kembali ke negara sebagai pemegang saham mayoritas. “Selanjutnya, untung ini digunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia melalui beragam program pemerintah,” ujar Sunarso.

Pembagian dividen merupakan corak komitmen BRI dalam meng-create economic value utamanya bagi para shareholders. Melalui strategi dan inisiatif nan didukung pengelolaan modal nan baik, pihaknya optimistis bakal terus meng-create value dan memberikan return nan optimal kepada pemegang saham.

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, Kementerian BUMN mendapat sasaran dividen pada 2025 sebesar Rp 90 triliun. “Jadi ada peningkatan dari Rp 85 triliun (2024) jadi Rp 90 triliun. Saya rasa nomor nan fantastis," ujar Erick Thohir.

Setoran dividen BUMN ke kas negara tidak hanya didasarkan pada peningkatan laba, tetapi juga pada penguatan keahlian melalui efisiensi. Pada saat nan sama, dilakukan tata kelola perusahaan nan baik alias good corporate governance (GCG). "Mungkin banyak pihak tidak suka, lantaran peningkatan ini tidak mungkin hanya berjuntai pada laba, misalnya dari sumber daya alam. Mau tidak mau, efisiensi juga diperlukan," ujarnya. (*)

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis