TEMPO.CO, Jakarta - Syahdan, Devina Hermawan menemukan dua bukunya berjudul Indonesian Fusion Foods (2019) dan Yummy! 76 Menu Favorit Anak (2021) dibajak dan dijual murah itu ketika sedang berselancar di aplikasi shopping online Shopee. Juru masak alias chef ini sengaja tak menyalakan fitur filter untuk mencari dua kitab resep masakannya itu. Di Shopee, bukunya rupanya dijual Rp800 hingga Rp2000.
“Mana ada kitab resep nan dijual di nilai Rp2.000, lebih murah dari biaya parkir motor di warung,” kata Devina dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo pada Senin, 7 September 2024.
Perempuan berumur 30 tahun itu mengatakan pembajakan kitab ini bakal mematikan minat dan semangat calon penulis dalam negeri. Alasannya, penulis itu dalam menerbitkan kitab mengerahkan seluruh waktu, tenaga, dan biaya. Ketika dibajak, kata Devina, penulis dan penerbit tak mendapatkan hasil, baik karya baru alias kembali modal.
“Dengan mudahnya diduplikasi seperti itu, lampau dijual di platform online,” kata dia.
Dia bercerita dalam menerbitkan dua kitab resep masakannya itu saja memerlukan waktu masing-masing enam bulan. Mulai dari memilih menu, mencoba resep, menakar bahan dan komposisi, menentukan metode masak, fotografi, layout, hingga terbit.
Menurut dia, jika pembajakan kitab ini dibiarkan bakal berakibat jangka panjang bagi ekosistem penulis. Dia menyebut para penulis dan penerbit berbobot di Indonesia bakal menurun. Alih-alih menyuguhi generasi muda, mereka bakal terpapar dengan budaya dan edukasi dari kitab impor.
“Ini sama saja membodohi sebagian masyarakat nan mungkin belum sadar alias belum mengerti bahwa secara jangka panjang ekosistem penulis ini bakal runtuh,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Buku Mojok Aditia Purnomo menyatakan penjualan kitab bajakan di e-commerce tidak bakal selesai tanpa penegakan izin dari pemerintah. Ia menyebut, masalah penjualan kitab bajakan adalah persoalan lama nan telah disorot oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Namun, hingga saat ini, Adit menilai belum ada langkah konkrit nan dilakukan pemerintah maupun marketplace untuk menyelesaikan masalah ini.
“Setiap tahun kami menggelar kampanye Anti Pembajakan Buku. Di awal tahun ini, kami sudah mengusulkan audiensi kepada pemerintah agar difasilitasi untuk berjumpa dengan pihak marketplace tapi tetap belum ada tindak lanjut,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Ahad, 6 Oktober 2024.
Aditia mengatakan selama ini para penerbit hanya melawan pembajakan kitab ini secara berdikari melalui kampanye. Sembari itu, para penerbit juga melaporkan penjual online bandel secara berkala.
“Biasanya abis kami laporkan, produknya itu dihapus sama penjualnya. Setelah itu kelak diupload lagi. Gitu mainnya. Jadi ya mau nggak mau kita sendiri nan kudu rutin mengawasi,” ujarnya.