TEMPO.CO, Jakarta - Pada akhir pekan pertama bulan Februari, nilai mata duit rupiah tercatat berada di nomor Rp16.283 per dolar Amerika Serikat. Namun, kurs rupiah kian lama terus melemah hingga akhirnya menyentuh Rp 16.358 pada Senin, 10 Februari 2025.
“Untuk perdagangan besok, mata duit rupiah diprediksi fluktuatif, namun ditutup melemah dengan rentang pergerakan di Rp 16.310 – Rp 16.400 per dolar AS,” kata pengamat mata duit Ibrahim Assuaibi pada Kamis, 6 Februari 2025.
Eskalasi Konflik Amerika Serikat dan Cina
Menurut Ibrahim, kurs rupiah mengalami pelemahan lantaran aspek eksternal atas meningkatnya ketegangan perang jual beli antara Amerika Serikat dan Cina. Ibrahim mengungkapkan bahwa sentimen eksternal menjadi aspek utama pelemahan kurs rupiah.
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Cina mengalami eskalasi alias peningkatan setelah Washington memberlakukan tarif baru sebesar 10 persen terhadap peralatan impor dari Cina. Atas kebijakan tersebut, Cina lantas membalas dengan memberlakukan tarif dan kontrol ekspor sendiri. Berdasarkan kajian oleh JPMorgan, perang jual beli antara kedua negara adikuasa tersebut berpotensi semakin parah jika Amerika Serikat melanjutkan rencana penerapan tarif hingga mencapai 60 persen.
“Langkah ini telah meningkatkan kekhawatiran atas meningkatnya ketegangan perdagangan dan akibat potensialnya terhadap ekonomi global,” kata Ibrahim.
Selain mengenai tarif, Ibrahim juga menyoroti perkataan Trump pada Ahad, 9 Februari 2025. Ibrahim mengatakan bahwa Trump menyebut Amerika Serikat telah membikin kemajuan dengan Rusia untuk mengakhiri perang dengan Ukraina.
Namun, Trump menolak untuk memberikan rincian terhadap komunikasi nan dilakukannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Sementara itu, hukuman nan dijatuhkan pada perdagangan minyak Rusia pada 10 Januari lampau telah mengganggu pasokan Moskow ke Cina dan India selaku pengguna utama.
Lemahnya Pendapatan dan Daya Beli Masyarakat
Selain aspek eksternal, kondisi internal Indonesia juga menjadi pemicu melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Menurut Ibrahim, pemerintah kudu mendorong industri manufaktur dalam rangka mendukung sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen pada 2025.
“Hal tersebut sudah terlihat ada indikasi terjadi tren deindustrialisasi dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Tren deindustrialisasi kudu disikapi lantaran sektor manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Jika industri manufaktur kian lama semakin melemah, maka masyarakat kesulitan mendapatkan lapangan kerja. Dengan demikian, maka masyarakat bakal beranjak ke sektor informal nan susah diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang untuk saat ini.
“Tidak heran andaikan daya beli masyarakat menurun, bayaran pekerja informal tidak sebanding dengan pekerja formal,” kata Ibrahim.
Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin melemah nan mengindikasi semakin surutnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. Ibrahim menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi nan awalnya sebesar 5,31 persen pada 2022 menurun menjadi 5,05 persen pada 2023.
Pada 2024 lalu, nomor tersebut semakin menunjukkan pelemahan hingga akhirnya menjadi 5,03 persen. Pada kenyataannya, konsumsi rumah tangga sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi tidak lagi tumbuh lebih tinggi dari laju ekonomi sendiri.
Kelas menengah di Indonesia mendapat tekanan lantaran nilai kebutuhan terus membengkak dari waktu ke waktu. Sementara itu, kebijakan pemerintah kandas melindungi kepentingan kelas menengah dengan terus-menerus memihak pada golongan ekonomi bawah melalui support sosial, namun semakin membebani kaum kelas menengah dengan beragam pungutan pajak.
"Hal ini membikin konsumsi rumah tangga susah meningkat, sehingga pertumbuhan ekonomi kehilangan salah satu pendorong utama," kata Ibrahim.
Ervana Trikarinaputri dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan tulisan ini.
Pilihan Editor: Rupiah Ditutup Melemah Hari Ini, Bagaimana Prediksi Besok