TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus pengamat ketenagakerjaan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengkhawatirkan berubahnya pola pikir para pelaku industri menjadi seorang pedagang alias importir. Perubahan pola pikir ini, kata Andry, bisa terjadi ketika sektor industri tidak lagi dianggap menguntungkan.
“Yang kita takutkan justru para pelaku industri ini merasa bahwa tidak menguntungkan lagi menjalankan upaya (industri) jika ini sudah masuk ke dalam mindset,” ucap Andry ketika dihubungi pada Kamis, 14 November 2024.
Andry khawatir, pelaku industri nan ada malah mengubah fokusnya dari memproduksi peralatan menjadi mengimpor barang. Apalagi importasi di dalam negeri, kata Andry, sangat tidak terkendali, di mana masyarakat nan daya belinya sedang menurun lebih memilih membeli peralatan impor nan secara nilai jauh lebih murah.
“Mereka kelak bakal berubah menjadi pelaku traders nan hanya mengimpor produk-produk dari luar, dan ini nan kita tidak inginkan,” ujarnya.
Bila pemerintah tidak segera menyusun izin nan tepat, bukan tidak mungkin perubahan pola pikir pelaku industri bakal betul-betul berubah. Cita-cita menjadi negara industri nan maju juga bakal menjadi khayalan belaka dan Indonesia bakal tetap berkutat di dalam middle income trap.
“Nah ini nan menurut saya harusnya dilakukan kebijakan nan pada akhirnya kudu melindungi ekosistem industri ini. Baik itu dari sisi supply, baik itu juga dari sisi demand,” kata Andry.
Pemerintah, menurut Andry, juga kudu memperhatikan bertambahnya pelaku industri nan memilih banting setir menjadi importir. Bila itu terjadi, kata Andry, serapan tenaga kerja bakal makin ambruk lantaran para pengusaha tersebut tidak lagi memerlukan jasa tenaga kerja untuk menjalankan proses produksi.
Sementara itu, ahli ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai selama ini serapan investasi nan masuk ke sektor industri sendiri lebih banyak diterima oleh industri padat modal, nan serapan tenaga kerjanya relatif kecil. Ini pula nan kemungkinan mempengaruhi buruknya keahlian industri, khususnya industri padat modal.
“13 perusahaan lebih kan dalam proses pailit dan melakukan PHK di sektor industri padat karya,” kata Bhima ketika dihubungi pada Kamis, 14 November 2024.
Untuk itu, kata Bhima, investasi nan bakal masuk semestinya diprioritaskan untuk industri padat modal nan mempunyai serapan tenaga kerja lebih besar dibanding industri padat modal. Hal ini tentunya untuk menghindari bertambahnya pelaku industri nan terjerat pailit ataupun berganti mindset menjadi importir.