TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan perlu disepakati oleh semua pihak. Sehingga, kata dia, semua peserta dari beragam kelas bisa mengantisipasi dan tidak ada kejutan-kejutan nan menyulitkan.
“Kenaikan BPJS, paling tidak kudu bisa meng-cover inflasi,” kata Wijayanto kepada Tempo, Jumat, 15 November 2024.
Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyebut ada kemungkinan iuran BPJS Kesehatan naik pada tahun depan. Hal ini menyusul adanya akibat kandas bayar nan bisa dialami oleh perusahaan di tahun 2026 akibat pengeluaran nan lebih besar dibandingkan pemasukan dari pembayaran premi peserta.
Saat ini akibat kerugian akibat lonjakan peserta BPJS Kesehatan nan menunggak mencapai Rp 20 triliun. Jumlah itu belum dihitung dengan biaya faedah nan kemungkinan didapatkan jika para peserta aktif bayar premi.
Wijayanto mengatakan, kondisi nan dialami BPJS Kesehatan memerlukan beragam pengganti solusi. Selain opsi kenaikan iuran, nan memang telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Jaminan Kesehatan, dia menyetujui opsi cost sharing hingga tarif degresif mengurangi defisit. Namun, ada sejumlah catatan krusial untuk mencoba opsi tersebut.
“Cost sharing dan tarif degresif layak untuk dijadikan solusi, tetapi timing dan formulanya kudu dibahas dengan penuh kehati-hatian,” ujarnya.
Selanjutnya, Wijayanto mengatakan solusi bagi defisit BPJS Kesehatan kudu komprehensif dan berorientasi jangka panjang. Termasuk memasukan aspek populasi nan menua dan adanya peningkatan dependency ratio.
Di sisi lain, kata dia, perlu perbaikan sistem dengan pendekatan teknologi agar bisa menekan moral hazard dan meningkatkan disiplin peserta untuk bayar iuran. Bahkan. Jenis penyakit dan jasa nan di-cover BPJS Kesehatan perlu disesuaikan.
“Jangan sampai terlalu generous sehingga menyebabkan defisit,” ujarnya.
Selanjutnya, dia berambisi BPJS kudu mendukung beragam upaya preventif seperti kampanye pola hidup sehat hingga olahraga. Tujuannya, untuk menekan jumlah masyarakat nan melakukan klaim. “ Jadi, KPI-nya perlu disesuaikan, bukan semakin banyak klaim semakin bagus, justru sebaliknya,” kata dia.
Vedro Imanuel berkontribusi pada tulisan ini.