Hutan Suku Pemburu dan Peramu Terakhir di Kalimantan dalam Ancaman

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Makruf dan Syamsul, perwakilan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Punan Batu Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, beberapa kali meminta tolong dalam sebuah obrolan di Jakarta Selatan, Kamis (6/6).

Ruang hidup mereka terancam. Banyak rimba dibabat oleh perusahaan sawit, air sungai tak bisa lagi diminum, hingga makanan sehari-sehari juga mulai langka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Maka dari itu kami sampai Jakarta. Jika tidak penting, kami tidak bakal ke sini. Kami mau menyelamatkan rimba kami, rimba Benau Sajau," kata Makruf.

Diskusi itu dihadiri pula oleh Direktur Kemitraan Lingkungan Jo Kumala Dewi dan Bupati Bulungan Syarwani. Bagi Makruf dan Syamsul, semua momen adalah kesempatan untuk memperjuangkan ruang hidup nan layak.

Masyarakat budaya Punan Batu Benau adalah masyarakat pemburu dan peramu satu-satunya di Kalimantan. Hutan menjadi sangat krusial untuk mereka.

Makruf bercerita rimba Benau Sajau dulu dan sekarang sangat berbeda drastis. Perubahan nan sangat pesat itu ditandai dengan hadirnya perkebunan sawit di sana.

"Dulu cuaca tenangan, bagus. Cari ubi tidak susah. Cari segala kebutuhan itu gampang. Sekarang berburu aja susah. Sungai aja susah diminum. Karena apa? Keruh," keluh Makruf.

Saat tetap kecil, Makruf merasakan betul jangkauan mereka saat berburu dan mencari makan sangat jauh. Namun saat ini, pergerakan mereka menjadi sempit.

"Hutannya sudah sempit, tinggal sedikit. Jalan sehari sudah habis. Kalau dulu kan tetap luas, jalan ke mana aja bebas.Jalan ke mana aja cari ubi banyak, madu banyak. Sekarang kondisinya sedikit," kata dia.

"Kenapa? Karena banyak kayu karet, kebun, pohon sawit, lahan pengusaha. Itu semua lenyap jika ditumbang (dibabat)," lanjutnya.

Syamsul nan juga keponakan Makruf mengeluhkan perihal nan sama. Dia pun berprasangka apakah cerita orang tua dan kakek-neneknya tentang keelokan rimba Benau Saju hanya mitos.

Pasalnya, apa nan diceritakan oleh orang tua dan kakek-neneknya jauh berbeda dengan apa nan dia lihat saat ini.

"Saya ingat-ingat sejak saya mini orang tua saya, seperti bapak saya bilang 'hutan kita ini bagus, ada kehidupan, ada tempat cari binatang, cari ubi, mudah sekali.'," kata dia.

"Sekarang ini, saya merasanya, lantaran pembabatan perusahaan ini, saya merasa 'eh bapak ini bohong kayaknya nih'. Bilangnya cari makan hidup nenek moyang dulu sangat mudah tapi saya anak muda tidak merasa semudah tadi. Susah sekali," lanjutnya.

Kerusakan rimba di Benau Sajau bukan lantaran ketidakmampuan masyarakat budaya mengelola dan merawatnya. Namun, kata Syamsul, ada aspek eksternal nan merusak dan susah untuk dilawan.

Sebagai masyarakat pemburu dan peramu, mobilitas mereka sehari-hari cukup tinggi. Mereka bisa pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari sumber makanan.

Sejak hadirnya perusahaan sawit, mereka kesulitan bergerak lantaran dianggap masuk wilayah perusahaan. Syamsul menyebut perusahaan berkilah mempunyai izin kelola rimba di area tersebut.

Dia pun meminta pemerintah berpihak kepada mereka. "Kami bukan tidak bisa menjaga, tapi ada orang lain seperti perusahaan bilang: 'hutan ini bukan Anda punya. Ini negara punya. Tidak ada larangannya kami menggarap rimba ini.'," kata Syamsul mengulang pernyataan perusahaan kepada masyarakat budaya Punan Batu Benau.

"Kami tidak bisa apa-apa. Kami minta Pemerintah Pusat untuk kami," tambahnya.

Eksis lebih dari 5 ribu tahun lalu

Syamsul menyesalkan perusahaan sawit bisa mendapat izin di area rimba mereka. Bahkan sampai melarang masyarakat budaya Punan Batu Benau untuk memanfaatkan sebagai hutannya.

Padahal, masyarakat budaya Punan Baru Benau sudah ada sejak dulu di area rimba itu.

Berdasarkan penelitian nan dilakukan oleh Pradiptajati Kusuma dkk., masyarakat budaya Punan Baru Benau diprediksi telah meninggali rimba di sekitar Goa Sajau Benau lebih dari lima ribu tahun lalu.

Adapun penelitian itu dilakukan Pradiptajati dkk sejak 2018 silam. Mereka melakukan penelitian perilaku ekologi, bahasa, pola makan, kesehatan dan genetik terhadap masyarakat Punan Batu Benau.

Pradiptajati mengatakan bahasa sehari-hari nan digunakan mereka termasuk ke dalam golongan bahasa Austronesia. Namun, mereka juga mempunyai bahasa lain untuk aktivitas seni dan doa-doa spiritual, ialah Bahasa Latala.

Bahasan Latala teridentifikasi bukan termasuk ke dalam rumpun Austronesia.

Pradiptajati dkk juga mengumpulkan sampel darah untuk mengecek asal-usul DNA mereka. Hasilnya, keberadaan masyarakat budaya Punan Batu Benau lebih tua dari masyarakat nan bergenetik Austronesia.

Hal itu diperkuat dengan bauran budaya nan dibawa masyarakat Austronesia ke wilayah Dayak. Masyarakat Austronesia lebih identik dengan budaya cocok tanam alias agrikultur. Namun, MHA Punan Batu tidak mempunyai kultur itu.

Oleh karena itu, Pradiptajati dkk memperkirakan MHA Punan Batu Benau sudah ada di Kalimantan lebih dari lima ribu tahun lalu. Sebab, masyarakat Austronesia diperkirakan datang ke Kalimantan lima ribu tahun lalu.

"Austronesia secara genetik nan membawa budaya agrikultur dari Taiwan, Filipina ke selatan sekitar 5 ribu tahun lalu. Masyarakat Punan Batu itu justru lebih tua," kata Pradiptajati.

"Yang kami pelajari, Dayak lain ada bukti Bauran dengan masyarakat Austronesia. Sementara Punan Batu tidak ada," imbuhnya.

Meski diprediksi sudah menduduki Kalimantan lebih dari 5 ribu tahun lalu, masyarakat budaya Punan Batu Benau baru mendapatkan pengakuan dan perlindungan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) baru pada 2023.

Hutan nan mereka tempati juga tetap berstatus konsesi kewenangan pengusahaan rimba (HPH), belum diakui sebagai rimba budaya Punan Batu Benau.


Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional