TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan penurunan daya beli beberapa bulan terakhir bisa jadi momok untuk masa awal pemerintahan Prabowo Subianto. Menurutnya, ekonomi Indonesia bakal berat tembus lima persen pada kuartal ketiga dan keempat 2024.
Tauhid menambahkan, sebenarnya pada kuartal pertama dan kedua Indonesia sudah konsisten mengalami pertumbuhan ekonomi di atas lima persen. Namun, deflasi dan tekanan ekonomi nan terjadi beberapa waktu belakangan menurutnya jadi penanda perlambatan ekonomi.
“Kuartal ketiga dan keempat mungkin bakal di bawah lima persen. Konsekuensinya secara agregat ekonomi kita mentok lima persen,” kata Tauhid kepada Tempo, 3 Oktober 2024 lalu.
Menurutnya, akibat dari kondisi saat ini bakal dirasakan pada awal pemerintahan Prabowo Subianto. Pasalnya, ketika ekonomi turun, dia menilai kesejahteraan juga bakal ikut merosot.
“Kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, ini multiplier efeknya besar. Dan bakal terjadi nanti,” ujarnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 minus 0,12 persen (MtM). Angka ini sekaligus menunjukkan tren deflasi nan terus bersambung selama lima bulan terakhir sejak Mei 2024.
Mengenai deflasi, Tauhid memaparkan kondisi itu bisa dilihat dari volatile food alias kategori pangan bergolak seperti daging ayam ras, telur, hingga bawang merah. Kategori tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat nan semestinya tetap masyarakat meski harganya mengalami perubahan.
Iklan
“Tapi ketika masyarakat tidak punya daya beli, akhirnya dia nggak sanggup dan mengakibatkan nilai turun. Dan itu menjadi deflasi,” terang Tauhid kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.
Selain deflasi tersebut, dia menyitir info Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia nan pada September 2024 ambruk ke area kontraksi 49,2. Kontraksi sudah terjadi sejak Juli.
Menurutnya, nomor PMI manufaktur di bawah 50 menunjukkan peralatan nan dijual lebih sedikit daripada input nan dibeli oleh industri. Artinya, ada stok berlebih dari industri lantaran minimnya pembeli. Namun, kata Tauhid, saat ini kondisi itu tidak hanya terjadi di Indonesia.
“Lalu ada nomor pembelian kendaraan roda dua, itu kontraksi minus hingga 4,1 persen. Selain itu laju angsuran juga minus,” terangnya.
Pilihan Editor: Terpopuler: Besaran Kenaikan Gaji dan Tunjangan Hakim nan Disetujui Kemenkeu, 12 Nama nan Dikabarkan Jadi Menteri Kabinet Prabowo