TEMPO.CO, Jakarta - Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), nan lebih dikenal sebagai Green Sukuk alias Sukuk Negara, adalah salah satu instrumen investasi nan diterbitkan oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan prinsip syariah.
SBSN menjadi pengganti investasi nan sejalan dengan ketentuan syariah Islam, lantaran dalam pelaksanaannya tidak mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian), alias maysir (judi).
Tujuan utama dari publikasi SBSN adalah untuk menghimpun biaya dari masyarakat dan para investor, nan bakal digunakan untuk membiayai beragam kebutuhan pembangunan negara.
Dilansir dari indonesia.go.id, sukuk adalah istilah dalam bahasa Arab untuk obligasi yang mengikuti prinsip syariah. Dalam fatwa nomor 32/DSN-MUI/IX/2002, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan sukuk sebagai surat berbobot jangka panjang nan dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah, nan mewajibkan emiten untuk bayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin alias fee, serta mengembalikan biaya obligasi pada saat jatuh tempo.
Apa itu green sukuk?
Dilansir dari ppid.menlhk.go.id, Green sukuk alias sukuk hijau adalah instrumen finansial inovatif nan berbasis syariah dan dirancang untuk mendukung komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim. Berdasarkan kerangka Hijau Indonesia, terdapat sembilan sektor nan dapat dibiayai melalui Obligasi/Sukuk Hijau, yaitu: daya terbarukan, pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, efisiensi energi, pariwisata berkelanjutan, ketahanan terhadap perubahan iklim, gedung ramah lingkungan, transportasi berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, serta pengelolaan limbah dan daya dari limbah.
Perkembangan Green Sukuk di Indonesia
Iklan
Dilansir dari beragam sumber, pada 2018, pemerintah Indonesia menerbitkan sukuk hijau berbarengan dengan obligasi hijau. Penerbitan ini dilakukan setelah disahkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60 /POJK.04/2017 pada tahun 2017 mengenai Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond). Berbeda dengan obligasi hijau, sukuk hijau mengikuti prinsip perbankan syariah.
Setelah publikasi sukuk hijau global, pada 2019, pemerintah melanjutkan dengan menerbitkan sukuk hijau ritel. Sukuk ini ditujukan untuk mendukung pembiayaan anggaran pendapatan dan shopping negara serta mendanai proyek-proyek prasarana berkelanjutan. Instrumen ini juga diharapkan dapat menarik minat penanammodal di pasar surat berbobot negara domestik, khususnya mereka nan tertarik pada finansial syariah.
Pada 2023, green sukuk telah mencapai beberapa pencapaian signifikan. Secara kumulatif, instrumen ini sukses mengumpulkan biaya sebesar USD6,9 miliar, dengan rincian USD5 miliar untuk sukuk hijau global, Rp21,86 triliun untuk sukuk hijau ritel, dan Rp6,73 triliun untuk sukuk hijau berbasis proyek.
Dari segi profil penyaluran, sebagian besar biaya nan dihimpun dialokasikan ke sektor transportasi berkelanjutan, diikuti oleh sektor ketahanan terhadap perubahan iklim, serta proyek-proyek pengelolaan air dan limbah air berkelanjutan.
Sejak diterbitkan, sukuk hijau juga telah meraih beberapa penghargaan. Pada tahun 2020, instrumen ini mendapatkan penghargaan sebagai aset triple A dari International Islamic Finance Awards dan 3G Best Green Initiative of the Year dari Cambridge IFA.
Pilihan Editor: OJK Terbitkan Aturan Baru untuk Dukung Penerbitan dan Pelaporan Obligasi dan Sukuk Daerah