TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan pengusaha Muhammadiyah nan tergabung dalam Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) berambisi pemerintah membatalkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim, menilai kebijakan itu tidak sensitif kepada pengusaha nan sedang berjuang di tengah penurunan daya beli masyarakat.
"Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika bumi upaya saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikkan nomor pengangguran," kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 15 November 2024.
Ghufron menegaskan, saat ini banyak perusahaan nan kebanyakan merupakan UMKM sedang berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi. Bahkan, kata dia, banyak nan memutuskan mengurangi jumlah tenaga kerja hingga gulung tikar sehingga menurutnya rencana kenaikan PPN menakut-nakuti kelangsungan upaya mereka.
Ia menyitir info Bursa Efek Indonesia (BEI) tentang rasio untung bersih dengan pendapatan perusahaan kategori LQ45 nan hanya berkisar 11 persen. Menurutnya, untung bersih itu tidak jauh berbeda dengan tarif PPN nan bakal dikenakan.
Untuk itu, kata dia, tarif PPN nan lebih rendah bakal dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat. “Sebab, harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif. Pada gilirannya, ini dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Ia mengingatkan, kebijakan nan bakal bertindak pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya enam persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak bakal semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.
"Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia semestinya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara berjenjang turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap melangkah sesuai mandat Undang-Undang (UU). Sri menegaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di beragam sektor. "
Artinya, ketika kami membikin kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi alias perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan apalagi waktu itu termasuk makanan pokok," kata dia saat rapat kerja berbareng Komisi XI DPR RI, Kamis, 14 November 2024.