Jokowi Buka Ekspor Pasir Laut, Pengamat: Mengingkari Janji Pelestarian Laut

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah berjanji sebagai Presiden Indonesia periode 2014-2019, Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan pertamanya di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 20 Oktober 2014. Salah satu isi pidato tersebut adalah menyinggung visinya dalam memperkuat kemaritiman Indonesia pada masa depan.

"Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi angin besar dan gelombang di atas kapal berjulukan Republik Indonesia." ujarnya. 

Komitmen Jokowi dalam memperkuat kemaritiman di Indonesia tertulis lewat visi misinya saat mencalonkan diri sebagai Presiden RI 2014. Ia menggagas pembangunan ekonomi maritim nan di antaranya melakukan rehabilitasi kerusakan lingkungan pesisir dan lautan. Jokowi juga mau meningkatkan konservasi perairan nan dikelola secara berkelanjutan.

Ketika kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden periode 2019-2024, musuh dari Prabowo Subianto itu lagi-lagi memasukkan aspek maritim dalam rencananya. Ia mau merehabilitasi kerusakan lingkungan untuk menjamin daya lingkungan secara berkelanjutan, nan tentunya dengan langkah konservasi laut.

Dalam pidato Jokowi di aktivitas One Ocean Summit 2022, Jokowi menyampaikan komitmennya mencapai sasaran area konservasi perairan laut seluas 32,5 juta hektare di tahun 2030. Pada kesempatan lain, dia acapkali menggadang-gadangkan narasi besar seperti identitas Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar hingga poros maritim dunia. 

"Kami optimistis, komitmen kami di tahun 2030 bisa terpenuhi,” imbuh Jokowi dilansir dari setkab.go.id nan tayang pada 11 Februari 2022. 

Secara khusus, Jokowi tampak menyeriusi gagasannya menjadikan Indonesia negara poros maritim. Terbukti dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 34 tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) nan mengeluarkan tujuh rumor strategis. 

Adapun tujuh rumor strategis tersebut adalah pengelolaan sumberdaya kelautan dan pengembarang sumber daya manusia, pertahanan, keamanan, penegakan norma dan keselamatan laut, tata kelola dan kelembagaan laut, ekonomi prasarana dan peningkatan kesejahteraan, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, budaya bahari dan, diplomasi maritim.

Namun penerapannya rupanya jauh panggang dari api. Pengamat maritim Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan banyak kebijakan maritim Jokowi tidak mencapai visi nan diharapkan. Salah satu kritik dari Marcellus adalah terjadi ketimpangan antara pembangunan prasarana maritim dan pengelolaan lingkungan laut. 

“Jokowi menitikberatkan pembangunan prasarana pelabuhan, tol laut, dan pengembangan industri perikanan, tetapi masalah penegakan norma terhadap pencurian ikan (illegal fishing) dan perusakan ekosistem laut belum sepenuhnya terselesaikan,” ujarnya kepada Tempo.

Ambisi Jokowi dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim bumi sangat mengedepankan potensi laut sebagai tulang punggung ekonomi dan geopolitik Indonesia. Namun, dalam mewujudkan komitmen tersebut, Marcellus mencium ada kebijakan tertentu nan berpotensi merusak ekosistem laut. 

“Kontradiksi antara retorika Jokowi tentang pelestarian laut dan beberapa kebijakan nan diterapkan patut dikritisi, terutama nan mengenai pemanfaatan sumber daya dan pembangunan prasarana besar-besaran,” katanya. 

Marcellus menyebut salah satu kebijakan nan membikin visi Jokowi jauh dari penerapan adalah pengembangan tambang laut dan pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir. Sejumlah kebijakan nan memfasilitasi pertambangan laut dalam dan pemanfaatan sumber daya mineral di dasar laut dapat  berpotensi merusak ekosistem bawah laut.  

"Eksploitasi mineral laut, seperti nikel dan timah, nan dilakukan dengan skala besar berpotensi merusak kediaman biota laut dan menurunkan kualitas ekosistem pesisir," lanjutnya. 

Sebagai pengamat, dia sebenarnya mengakui bahwa kebijakan tersebut juga didorong oleh kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan negara dan industrialisasi. Namun, baginya kerusakan lingkungan laut jangka panjang kudu tetap diperhatikan lantaran menakut-nakuti keberlanjutan sumber daya perikanan dan keanekaragaman hayati.

Selanjutkan, kebijakan terbaru nan dikhawatirkan dapat merusak lingkungan adalah, membuka kembali ekspor pasir laut nan telah dilarang selama 20 tahun. Direktur Jenderal; Perdagangan Luar Negeri Isy Karim menuturkan Kementerian Perdagangan telah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelola Hasil Sedimentasi di laut. Kebijakan ini juga berdasarkan usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang nan Dilarang untuk Diekspor serta Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

KKP telah mengumumkan tujuh letak pengerukan nan mereka klaim sebagai pembersihan hasil sedimentasi ialah di perairan Laut Jawa, Selat Makassar, Natuna, dan Natuna Utara. Secara rinci tujuh letak itu berada di Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. 

Iklan

Menurut Marcellus, akibat lingkungan dari ekspor pasir laut sangat signifikan, salah satunya adalah rusak terumbu karang dan padang lamun nan menjadi tempat pemijahan ikan. Selain lingkungan, kerusakan ini juga berakibat langsung pada kesejahteraan nelayan nan mengandalkan perairan pesisir untuk menangkap ikan. 

“Dampak lingkungan dari pemanfaatan pasir laut sangat signifikan, seperti rusaknya terumbu karang dan padang lamun nan menjadi tempat pemijahan ikan,” kata Marcellus.

Perubahan topografi laut dan erosi akibat pengambilan pasir dalam skala besar juga bakal berakibat jelek tantangan nan bakal dihadapi oleh nelayan tradisional. "Pembukaan kembali ekspor pasir laut menunjukkan ketidakselarasan antara visi Jokowi untuk melindungi laut dan realita di lapangan," katanya.

Karena itu, Marcellus menyarankan agar sebaiknya pemerintah melakukan peninjauan ulang mengenai kebijakan ekspor pasir laut. Dalam mengambil keputusan, pemerintah kudu melibatkan mahir lingkungan, peneliti maritim dan lembaga independen untuk mengevaluasi secara objektif potensi kerusakan ekosistem pesisir. 

Penilaian tersebut krusial agar keputusan nan diambil tidak hanya berorientasi pada untung ekonomi jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan akibat jangka panjang. Apalagi ini soal lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, seperti erosi pantai dan penurunan stok ikan. 

Bagi Marcellus, upaya restorasi ekosistem pesisir nan rusak akibat ekspor pasir laut juga kudu menjadi prioritas pemerintah. Program restorasi tersebut seperti rehabilitasi terumbu karang, padang lamun, dan mangrove kudu dilakukan secara maksimal, sehingga ekosistem laut dapat pulih dan berfaedah secara optimal. 

"Restorasi ini bakal membantu menjaga keberlanjutan sektor perikanan dan ekosistem pesisir dalam jangka panjang," katanya. 

Usai menerima banyak kritikan, Presiden Jokowi langsung memberikan penjelasan dengan mengatakan komoditas nan bakal diekspor adalah pasir laut hasil sedimentasi.  Pasir  sedimen itu, menurut Jokowi, telah mengganggu pelayaran dan kehidupan terumbu karang. Oleh lantaran itu dia menilai perlunya diatur ihwal pembersihan hasil sedimentasi di laut. 

"Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. nan dibuka, (hasil) sedimentasi,” kata Jokowi ketika memberi keterangan pers usai meresmikan Kawasan Islamic Financial Center di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.

Namun, menurut Marcellus perbedaan terminologis tersebut tidak serta merta menghilangkan kekhawatiran bakal akibat lingkungan. Secara teknis, sedimen adalah material nan terakumulasi di dasar laut, nan terdiri dari beragam partikel, termasuk pasir. 

Meskipun istilahnya berbeda, proses pengambilan sedimen dalam jumlah besar tetap melibatkan pengangkatan material dari dasar laut, nan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir. Pengambilan sedimen nan berlebihan berpotensi menyebabkan perubahan topografi dasar laut dan mengganggu keseimbangan ekologi, seperti erosi pantai nan berakibat pada degradasi kediaman laut dan ancaman terhadap kehidupan laut.

"Pengambilan sedimen laut secara signifikan juga bisa merusak ekosistem nan sensitif, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Berpotensi pula menutupi habitat-habitat penting," tegas Marcellus.

Karena itu, krusial bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan nan diambil disertai izin nan ketat dan sistem pengawasan nan efektif. Tanpa pengawasan nan memadai, pemanfaatan sedimen laut alias pasir laut dapat mengarah pada pemanfaatan nan tidak berkelanjutan.

"Merusak lingkungan dan melanggar prinsip-prinsip tata kelola sumber daya alam nan berkelanjutan," pungkas Marcellus.

Riri Rahayu, Riani Sanusi Putri, dan Ahmad Nurhasim berkontribusi dalam tulisan ini

Pilihan Editor: Ini Kronologi Ekspor Pasir Laut: Dihentikan Megawati dan Dibuka Lagi Jokowi

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis