TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah tetap belum mengambil keputusan tentang kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen nan bakal bertindak tahun depan. Rencana kebijakan itu juga tidak dibahas kabinet Prabowo, ialah Kabinet Merah Putih saat melakukan retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah pada 25 – 27 Oktober 2024. Padahal, tersisa waktu dua bulan lagi sebelum penyesuaian tarif kudu dilakukan sesuai ketentuan undang-undang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pun tak memberi jawaban rinci mengenai rencana pemerintah serta pengarahan Presiden Prabowo tentang kenaikan PPN. “Nanti kita bahas,” kata dia saat ditemui di kantornya, Kemenko Perekonomian di Jakarta Pusat, pada Senin, 28 Oktober 2024. Menurut Airlangga, perihal ini pun tak dibahas kabinet saat retret Akmil Magelang. “Enggak,” ujarnya.
Pajak pertambahan nilai adalah pajak nan dikenakan pada wajib pajak orang pribadi alias badan upaya nan berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan peralatan dan/atau jasa kena pajak. Perubahan tarif PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif PPN sebesar 12 persen bakal mulai bertindak paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) UU HPP. Sementara, tarif sebesar 11 persen telah bertindak sejak 1 April 2022.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah pernah menyarankan agar pemerintah Prabowo mengulas kembali rencana kenaikan PPN di kuartal I 2025. Said mengusulkan agar dilakukan penghitungan keahlian daya beli masyarakat tahun depan sebelum menerapkan kenaikan PPN.
Selain itu, menurut dia, akibat kebijakan tersebut terhadap pendapatan tenaga kerja juga perlu dipertimbangkan. “Menurut perkiraan saya, alangkah baiknya, alangkah eloknya naik alias tidak naiknya itu dibahas kelak di kuartal I 2025 nan bakal datang,” katanya saat ditemui usai rapat paripurna di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat pada Kamis, 19 September 2024.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti sempat memaparkan rencana peningkatan PPN sekitar 12 persen berpotensi mengakibatkan kontraksi ekonomi. Esther menjelaskan, ruang fiskal Indonesia sekarang mini lantaran beberapa faktor, dan peningkatan PPN hanya bakal berujung pada penurunan ekonomi.
Iklan
“Kalau ke depannya diberikan kebijakan kenaikan tarif PPN, maka nan terjadi adalah rupanya kenaikan tarif ini membikin perekonomian terkontraksi,” kata ahli ekonomi itu dalam obrolan publik daring berjudul “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat” pada Kamis, 12 September 2024.
Hal itu berasas kajian INDEF pada 2021, ketika lembaga itu mencoba menghitung skenario kenaikan tarif PPN 12,5 persen. Menurut Esther, dengan adanya kontraksi ekonomi imbas dari kenaikan PPN, artinya bayaran nominal, pendapatan riil, Indeks Harga Konsumen (IHK), pertumbuhan ekonomi, konsumsi masyarakat, serta ekspor-impor semuanya bakal menurun.
Hasil survei Inventure 2024 tentang Indonesia Market Outlook 2025 menunjukkan masyarakat kelas menengah merasa tertekan oleh rencana kenaikan PPN ini. Dalam survei itu, para responden ditanyakan tentang apa saja kebijakan-kebijakan pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi nan semestinya dibatalkan, direvisi, alias dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Tiga kebijakan nan paling mau dibatalkan oleh kelas menengah ialah kenaikan PPN 12 persen (menurut 43 persen responden), pembangunan prasarana nan memangkas alokasi anggaran kesejahteraan sosial (34 persen) dan penghapusan kelas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (32 persen).
Pilihan editor: Cerita Anggito Abimanyu soal Prabowo Panggil Jaksa Agung dan Kepolisian, Minta Jangan Asal Ciduk