Kajian DPR Ungkap Dampak Negatif Ekspor Pasir Laut yang Dibuka Jokowi

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Hasil kajian Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI mengungkapkan sederet akibat negatif dari dibukanya kembali keran ekspor pasir laut.

Kajian dari DPR ini dirilis pada 2023 silam. Kini, izin ekspor pasir laut kembali disorot usai kebijakan pemerintahan Jokowi membuka lebar lagi keran ekspor pasir laut.

Berikut sejumlah akibat negatif mengenai ekspor pasir laut berasas kajian

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

tersebut. Pertama, perizinan upaya pertambangan. Perizinan mineral dan batubara saat ini tersebar di beberapa kementerian. Penambangan pasir laut masuk dalam kategori mineral bukan logam dengan IUP0 dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022.

Lahirnya Perpres 55/2022 merupakan amanah dari UU tentang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengenai pendelegasian sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah wilayah provinsi dengan tujuan tata kelola pertambangan minerba nan baik dan efektif.

Namun, dalam PP Nomor 26 Tahun 2023, tidak mengatur secara jelas mengenai peran pemerintah wilayah dalam proses perizinan pertambangan.

Aturan dalam PP 26/2023 mengatur perizinan tambang sedimentasi ini menjadi kewenangan di dua kementerian, ialah Kemen ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Sehingga bertentangan dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2022 dimana ada pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat ke pemerintah wilayah mengenai IUP mineral bukan logam," demikian kajian DPR, Jumat (20/9).

Kedua, potensi kerusakan ekosistem laut. Menurut hasil kajian tersebut, penambangan pasir laut mempunyai akibat negatif nan merugikan ekosistem laut dalam jangka waktu panjang.

Dampak nan bakal terjadi antara lain air laut menjadi keruh dan biota nan hidup di dasar laut tidak bisa berenang cepat, seperti kerang, siput, udang, dan kepiting nan berpotensi terisap ketika pengelolaan sedimentasi laut dilakukan.

Ketiga, potensi melanggar pemisah wilayah. DPR menyampaikan menurut catatan Walhi, ada sekitar 20 pulau-pulau mini di sekitar Riau, Maluku, dan Kepulauan lainnya nan sudah tenggelam.

Selain itu, ada juga potensi 115 pulau mini nan terancam tenggelam di wilayah perairan dalam Indonesia.

"Sebagaimana nan terjadi pada Pulau Nipah nan mulai tenggelam, sedangkan pulau tersebut merupakan pemisah wilayah Indonesia dengan Singapura," ujarnya.

Sementara potensi tenggelamnya pulau-pulau terluar alias terdepan nan merupakan pulau perbatasan ialah sebanyak 83 pulau.

Hasil kajian menjelaskan pasir laut merupakan integral dari ekosistem nan tidak dapat dipisahkan, sehingga ketika sedimentasi nan mengandung pasir diisap, maka bakal tetap berakibat pada perubahan ekosistem meskipun bukan melakukan penambangan pasir seperti 20 tahun nan lalu.

DPR pun menyarankan beberapa pengganti kebijakan untuk meminimalisir akibat negatif nan ditimbulkan dari ekspor pasir laut.

Apabila kebijakan ekspor sedimen laut berupa pasir laut tetap dilakukan, maka dibutuhkan kajian nan mendalam berupa regulatory impact assessment (RIA) terhadap kebijakan tersebut sebagai dasar pembentukan patokan teknis mengenai penyelenggaraan ekspor pasir laut.

Kajian mencakup antara lain potensi sedimen, wilayah nan mempunyai sedimen, demand terhadap pasir laut dalam negeri dan luar negeri, potensi kerusakan lingkungan, biaya rehabilitasi kerusakan, potensi penerimaan negara, cost and benefit dan masalah perizinan.

Kajian juga mencakup ketentuan ekspor apakah secara bebas alias ditentukan kuota, pola pengawasan terhadap ekspor, koordinasi antar lembaga nan berwenang, pertukaran info dengan negara tujuan ekspor untuk memantau dan mengontrol perdagangan pasir, dan pola pertimbangan atas kebijakan.

Tak hanya itu, kajian nan dibuat kudu mempertimbangkan semua aspek seperti lingkungan, sosial, hukum, politik, dan ekonomi. Penyusunan kajian tersebut sebaiknya melibatkan publik dan akademisi sebagai bentuk partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan publik.

Kemudian, andaikan kebijakan ini diambil, maka pemerintah kudu mencabut Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 26 Tahun 2023.

Selain mencabut, pemerintah juga tetap membikin patokan teknis pengelolaan sedimen laut berupa pasir laut untuk pembangunan dalam negeri. Di samping itu, patokan teknis sebaiknya juga mengatur kemungkinan terjadi ekspor pasir laut illegal.

Dalam jangka panjang, diperlukan pengembangan teknologi baik berangkaian dengan aktivitas pembersihan hingga pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.

Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 26 tahun 2023 menyatakan secara definitif bahwa sarana nan digunakan untuk melakukan pembersihan hasil sedimentasi di laut adalah berupa kapal isap.

"Dalam beberapa kajian ditemukan bahwa proses pembersihan sedimen dengan kapal isap tidak selalu memenuhi kriteria ramah lingkungan, sehingga dapat dipertimbangkan untuk membuka beberapa opsi mengenai aspek pengendalian sedimen baik menyangkut sarana alias metode nan lebih sesuai dan ramah lingkungan sesuai karakter ekosistem laut terkait," ucapnya.

Sebelumnya, pemerintahan Jokowi membuka lebar lagi keran ekspor pasir laut. Pembukaan kembali keran ekspor itu dituangkan dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang nan Dilarang untuk Diekspor.

Lalu Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Namun, Presiden Jokowi membantah perizinan ekspor tersebut untuk pasir laut. Ia berkilah perizinan ekspor itu diberikan untuk hasil sedimentasi di laut.

"Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. nan dibuka itu sedimen, sedimen nan mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, jika diterjemahkan pasir, beda lho ya," kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta, Selasa (17/9).

(lna/DAL)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional