TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi alias KNKT, Soerjanto Tjahjono mengatakan ada dua rumor keselamatan nan menjadi sorotan di kasus kecelakaan bus pariwisata, ialah kesehatan pengemudi dan kepantasan bus.
Teranyar, kecelakaan bus pariwisata terjadi di Ciater, Subang, Jawa Barat pada Sabtu, 11 Mei 2024. Bus Trans Putera Fajar nan mengangkut rombongan pembimbing dan siswa SMK Lingga Kencana Depok itu mengalami kecelakaan diduga rem blong.
Ia mengatakan bahwa secara umum pengemudi bus pariwisata berbeda dengan sopir bus reguler. Salah satunya tidak ada tanggungjawab mengejar setoran tiap harinya.
Namun, katanya, dilihat dari langkah kerjanya, baik antara pengemudi bus pariwisata dan pengemudi bus reguler praktis tidak mempunyai perbedaan. "Masalah pengemudi memang enggak kejar setoran, tapi begitu pengemudi ada carteran dia bakal kerja terus-terusan tanpa istirahat," katanya ketika ditemui di Gedung NTMC Polri, Jakarta, Rabu, 15 Mei 2024.
Selain itu, dia juga menyoroti ihwal kepantasan Bus Trans Putera Fajar nan tidak mempunyai izin pikulan operasional. Adapun kasus kecelakaan bus terlarangan ini tidak bisa ditindaklanjuti oleh Kementerian Perhubungan alias Kemenhub.
Penyebabnya lantaran bus nan tidak mempunyai izin pikulan ini tidak masuk melalui terminal dan jembatan timbang. "Ya memang (enggak bisa ditindak). Makanya saya usulkan ke masyarakat agar sebelum menggunakan bus cek dulu di Mitra Darat, apakah laik dan terdaftar izinnya," ujarnya.
Karena itu, untuk mengantisipasi semakin bertambahnya kasus kecelakaan bus ini, Soerjanto mewanti-wanti kepada masyarakat agar rutin mengecek soal status izin dan kepantasan operasional dari bus nan bakal ditumpangi.
Iklan
"Kalau cek dari kasat mata agak sulit. Itu kan aplikasinya mudah buat lihat status izin dan kelaikan bus," ucapnya.
Berdasarkan info dari Direktorat Lalu Lintas Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, hingga November 2023 baru ada 62,26 persen alias 10.147 bus nan terdaftar di Sistem Perizinan Online Angkutan Darat dan Multimoda (Spionam). Sementara 37,74 persen alias 6.150 bus belum terdaftar di sistem namalain pikulan liar.
Dihubungi di kesempatan lain, Pengamat Transportasi dari Masyarakat Tranportasi Indonesia alias MTI, Djoko Setijowarno mengatakan, bahwa waktu kerja, waktu istirahat, waktu libur, hingga tempat rehat bagi pengemudi bus di Indonesia tetap buruk. Djoko menjelaskan, belum ada izin nan melindungi keselamatan dan kesehatan pengemudi bus.
"Sehingga performa mereka berisiko tinggi terhadap kelelahan dan bisa berujung pada micro sleep," ujarnya. Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah memberikan imbauan kepada perusahaan otobus agar menyediakan setidaknya dua pengemudi ketika bertugas.
Pilihan Editor: Bus Trans Putera Fajar Lima Kali Ganti Kepemilikan dan Modifikasi Body saat KIR Sudah Tak Berlaku