KEMENTERIAN Keuangan mengungkapkan salah satu persoalan dalam program pensiun di Indonesia adalah tingginya penarikan awal alias early withdrawal klaim agunan hari tua (JHT). Artinya, JHT kerap digunakan sebagai tabungan alias biaya darurat dan bukan sebagai biaya jangka panjang. Berdasarkan info Kementerian Keuangan, klaim JHT pada 2023 mencapai Rp 45,64 triliun.
Akan tetapi, Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria Kementerian Keuangan Ihda Muktiyanto mengatakan sebagian besar klaim JHT dicairkan dengan argumen peserta telah resign alias mengundurkan diri dari pekerjaan. “Sebagian besar klaim dilakukan pada saat peserta tetap berumur produktif, berumur muda, lantaran kebutuhan mendesak. Namun tidak sering juga nan sifatnya untuk kebutuhan konsumtif,” kata Ihda dalam aktivitas Indonesia Pension Fund Summit 2025 di area Tangerang Selatan, Kamis, 23 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ihda menjelaskan, idealnya, faedah JHT diperkirakan sebesar 12,6 persen dari replacement ratio. Dalam skenario ideal tersebut, peserta bekerja selama 32 tahun dan tidak pernah menarik dana. Sedangkan di Indonesia, rata-rata saldo JHT saat pensiun adalah Rp 56,2 juta alias setara 3,7 persen dari replacement ratio. Sedangkan median saldo JHT saat pensiun lebih rendah lagi, ialah Rp 24 juta alias setara 1,6 persen replacement ratio.
Menurut Ihda, kondisi tersebut membikin kebutuhan untuk menopang kebutuhan di masa tua menjadi sangat terbatas. “Fenomena ini juga mengisyaratkan bahwa tanpa kreasi kebijakan nan tepat, aset pensiun para peserta itu bakal terkikis sebelum waktunya dan membikin pekerja itu menjadi tidak mempunyai agunan layak ketika memasuki usia pensiun,” tutur dia.
Selain itu, Ihda juga menyoroti rendahnya cakupan kepesertaan program pensiun Indonesia. Pada 2024, dari total 144,6 juta tenaga kerja, hanya 23,6 juta di antaranya nan terdaftar sebagai peserta program pensiun wajib. Angka ini setara dengan 16,32 persen dari total tenaga kerja.
Ihda menilai info tersebut mengindikasikan bahwa kebanyakan pekerja di Indonesia—khususnya di sektor informal dan UMKM—masih menghadapi akibat nan besar ketika memasuki masa pensiun. “Mereka tidak di-cover dengan agunan pensiun nan memadai,” ucapnya.