Komisi X DPR Sentil Kemdikbud soal UKT: Orang Miskin Dilarang Kuliah?

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyentil Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjani nan menyatakan pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier nan berkarakter opsional namalain pilihan.

Huda menyebut pernyataan Tjitjik justru semakin menebalkan persepsi bahwa pendidikan tinggi berkarakter elitis dan hanya untuk kalangan tertentu.

"Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elite dan hanya untuk mereka nan punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal," kata Huda dalam keterangan resmi, Sabtu (18/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Huda menilai pernyataan Tjitjik mengenai pendidikan tersier ini kurang tepat, meski benar. Sebab, Tjitjik menyampaikan perihal itu dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik nan mengurus pendidikan tinggi dan sedang menanggapi protes kenaikan duit kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN).

"Kalau protes kenaikan UKT direspons begini ya tentu sangat menyedihkan," ucap Huda.

Huda menegaskan pernyataan pendidikan tinggi berkarakter tersier oleh pejabat tinggi Kemendikburistek bisa dimaknai bahwa pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka nan tidak punya biaya namun mau kuliah.

Padahal, kata dia, pemerintah selama ini gembar-gembor mau mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan memanfaatkan bingkisan demografi agar tidak menjadi musibah demografi.

"Tapi saat ada keluhan biaya kuliah nan tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah mau lepas tangan," tuturnya.

Menurut politikus PKB ini, kesempatan peserta didik mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia memang relatif rendah. Berdasarkan info BPS tahun 2023, Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia tetap berada di nomor 31,45 persen.

Angka ini tertinggal dari Malaysia dengan 43 persen, Thailand dengan 49 persen, dan Singapura dengan 91 persen.

"Salah satu hambatan aspek pemicu rendahnya nomor partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah lantaran persoalan biaya," ucap Huda.

Di sisi lain, Huda menyebut anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20 persen dari APBN. Untuk tahun ini saja, ujar dia, ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.

"Nah, ini ada apa kok sampai ada kenaikan UKT besar-besaran dari perguruan tinggi negeri nan dikeluhkan banyak mahasiswa. Apakah memang ada salah kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita alias ada aspek lain," ujar dia.

Huda pun mengatakan saat ini Komisi X telah membikin Panitia Kerja (Panja) Biaya Pendidikan untuk menelusuri tata kelola anggaran pendidikan di tanah air.

Panja ini diharapkan bisa menelurkan rekomendasi mengenai perbaikan tata kelola anggaran pendidikan, baik menyangkut pola distribusi, penentuan subjek sasaran, hingga jenis program.

"Kami berambisi rekomendasi Panja Biaya Pendidikan ini bisa menjadi referensi penyusunan RABPN 2025," pungkasnya.

Sebelumnya, Tjitjik menyampaikan bahwa kuliah alias pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier namalain pilihan nan tidak masuk wajib belajar 12 tahun (SD-SMA).

Tjitjik menyebut lantaran sifat opsional ini, pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan bagi pendidikan tinggi. Sebaliknya, pemerintah konsentrasi pada pendidikan wajib 12 tahun.

[Gambas:Video CNN]

"Apa konsekuensinya lantaran ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan, diprioritaskan, untuk pembiayaan wajib belajar," ujarnya.

Meski demikian, Tjitjik menyatakan pemerintah tidak lepas tangan dan tetap memberikan pendanaan melalui support operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN). Namun, besarannya tidak bisa menutup Biaya Kuliah Tunggal (BKT) sehingga sisanya dibebankan pada setiap mahasiswa lewat UKT.

Tingginya biaya UKT ini sendiri lantaran mempertimbangkan biaya operasional nan ditanggung oleh PTN. Biaya itu meliputi perangkat tulis instansi (ATK), bayaran bagi pengajar non pegawai negeri sipil (PNS), biaya praktikum, biaya ujian, hingga skripsi.

"Biaya perkuliahan itu kan pasti butuh ATK, butuh kemudian LCD, ada pemeliharaan, kemudian dosennya kan mesti kudu dikasih minum, kudu kemudian dibayar. Memangnya pengajar gratis?" ujar dia.

(blq/agt)

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional