TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritisi rencana pemerintah membentuk family office alias instansi keluarga. Ia menilai tidak ada urgensi pemerintah merealisasikan kebijakan tersebut.
"Ada kebutuhan rakyat nan lebih mendesak dan berakibat pada kesejahteraan masyarakat luas," kata Achmad melalui aplikasi perpesanan kepada Tempo, Rabu, 3 Juli 2024. Misalnya, kata dia, menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan jasa kesehatan nan lebih baik.
Pemerintah berkilah family office dibentuk untuk menarik kekayaan dari negara lain untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, menurut Achmad, realisasinya tidak semudah itu. Terlebih, ketidakpastian ekonomi dunia tetap berlangsung. Menurutnya, orang kaya di bumi bakal berhati-hati dalam berinvestasi di luar negeri, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia. "Karena dalam pandangan mereka, risikonya lebih tinggi," ujarnya.
Lagipula, Achmad berujar, family office merupakan kebijakan nan condong menguntungkan segelintir orang. Meski tujuannya menarik investasi dari elite global, menurutnya, family office tidak serta merta menjawab kebutuhan mendesak, seperti akses pendidikan, jasa kesehatan, apalagi akses pekerjaan.
"Ketimbang family office, support bagi upaya mini dan menengah bakal lebih berfaedah untuk pertumbuhan ekonomi nan berkepanjangan dan kesejahteraan masyarakat," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia bisa mendapat untung dari pembentukan family office. Sebab, berasas info The Wealth Report, populasi perseorangan super kaya di Asia diprediksi tumbuh 38,3 persen selama periode 2023-2028. Sementara di Indonesia, diprediksi tumbuh 34 persen.
"Ada biaya US$ 11 triliun nan mereka mau cari tempat nangkring. Sekarang banyak di Singapura, Dubai, Hongkong. Kita tawarkan itu, susun regulasinya," kata Luhut melalui akun IG resmi @luhut.pandjaitan, Senin, 1 Juli 2024.
Luhut memastikan pemerintah menghindari upaya penucian duit dengan mewajibkan orang asing nan hendak meletakkan uangnya, datang ke Indonesia. Pemerintah juga mewajibkan mereka berinvestasi dan menyerap tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di famiily office mereka.
"Itu kelak nan kita pajaki. Kalau sudah investasi kan banyak proyek di sini," kata Luhut.
Sementara itu, ahli ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah mesti mempertimbangkan lebih dalam rencana pembentukan family office. Ia berujar, negara nan menjadi tempat family office biasanya negara nan bisa memberikan tarif pajak super rendah. Artinya, Indonesia malah berpotensi menjadi suaka pajak.
Bhima cemas family office justru menjadikan Indonesia sebagai suaka pajak alias tempat berlindung wajib pajak menghindari pungutan pajak. Bahkan, berpotensi menjadi tempat pencucian uang.
Kalaupun tujuannya menggaet investasi, Bhima juga cemas investasi family office tidak masuk sektor riill, seperti untuk membangun pabrik. Namun, hanya untuk diputar di instrumen keuangan, seperti pembelian saham dan surat utang. "Kalau seperti itu, akibat ke perputaran ekonomi juga relatif terbatas," kata dia.
Pilihan Editor: Ribuan Buruh Tekstil Kena PHK, Buruh: Menteri Perdagangan Harus Bijak