LPEM UI: Tambahan Likuiditas Rp 200 Triliun Belum Berubah di Tingkat Konsumen

Sedang Trending 5 jam yang lalu

LEMBAGA Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) menilai tambahan likuiditas sebesar Rp 200 triliun nan digelontorkan belum berubah menjadi permintaan peralatan dan jasa di tingkat konsumen.

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya melaporkan bahwa inflasi September 2025 tercatat sebesar 0,21 persen secara bulanan dan 2,65 persen secara tahunan.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Namun demikian, parameter permintaan domestik nan tercermin pada inflasi inti condong tidak banyak berubah di 2,19 persen (year on year), alias naik sedikit dari 2,17 persen (yoy) pada bulan sebelumnya. Secara bulanan, inflasi inti September 2025 sebesar 0,18 persen (month to month) alias hanya sedikit lebih tinggi dibanding 0,16 persen (mtm) pada bulan nan sama tahun lalu.

“Kenaikan ini sangat terbatas sehingga belum memberi sinyal adanya penguatan daya beli masyarakat,” kata peneliti LPEM UI Chaikal Nuryakin dalam Seri Analisis Makroekonomi, dikutip Jumat, 10 Oktober 2025.

Di sisi lain, pemerintah telah menempatkan biaya sebesar Rp 200 triliun di bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) demi mendorong penyaluran angsuran di sektor prioritas. Pada saat nan sama, Bank Indonesia juga telah menurunkan suku kembang referensi hingga 4,75 persen. Namun demikian, kata Chaikul, inflasi inti tetap rendah dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) belum menguat. IKK pada Agustus 2025 turun ke level 117,2 dari 118,1 pada bulan sebelumnya. Terbaru, Bank Indonesia mencatat IKK kembali turun pada September ialah di level 115.

LPEM UI pun membeberkan sejumlah akibat nan perlu diantisipasi jika duit nan beredar bertambah, sementara kapabilitas produksi dan pengedaran tidak meningkat. Pertama, kata Chaikul, nan bergerak adalah biaya dan nilai produsen nan kemudian diteruskan ke konsumen. Risiko berikitnya adalah pembiayaan berlebihan pada zombie company, ialah penambahan angsuran pada debitur lama nan kurang produktif. “Sehingga injeksi lukuiditas berpotensi kontraproduktif bagi sektor riil,” ucap Chaikul.

Sementara itu, Kementerian Keuangan berambisi penempatan biaya pemerintah Rp 200 triliun di perbankan bisa mendorong pertumbuhan angsuran hingga 10 persen. “Kalau pada Agustus pertumbuhan angsuran tetap 7 persen, di akhir tahun ini kami harapkan bisa menuju 10 persen. Dampaknya bakal terasa pada angsuran modal kerja, konsumsi, dan investasi, nan akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan PDB kuartal IV,” kata Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam media briefing di instansi Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, 9 Oktober 2025.

Kas pemerintah tersebut tersebut masing-masing dialokasikan Rp 55 triliun untuk Bank Mandiri, Rp 55 triliun untuk BNI, Rp 55 triliun untuk BRI, Rp 25 triliun untuk BTN, dan Rp 10 triliun untuk Bank Syariah Indonesia (BSI). Hingga hari ini, kata Febrio, Bank Mandiri telah menyalurkan 74 persen, disusul BRI 62 persen, BNI 50 persen, BSI 55 persen, dan BTN 19 persen.

Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan tulisan ini
Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis