TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Segara Institute, Piter Abdullah, menilai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen dikhawatirkan bakal kembali membikin kelas menengah makin terpukul. Pasalnya, kata Piter, bakal timbul multiplier effect dari penerapan PPN 12 persen.
“Kalau kita paksakan (kenaikan PPN), bakal menambah beban lantaran harga-harga pasti naik,"kata Piter ketika dihubungi pada Kamis, 21 November 2024. "Harga-harga naik ketika masyarakat mengalami penurunan daya beli, maka bakal menghantam double hit. Ini istilahnya sudah jatuh, tertimpa tangga."
Tentang Kelas Menengah
Berdasarkan publikasi ilmiah Kelas Menengah (Middle Class) dan Implikasinya dalam researchgate.net, kelas menengah dapat didefinisikan dari pendekatan berbeda. Pendekatan relatif mengartikan kelas menengah menurut okupansi, baik dari sisi pendapatan maupun konsumsi.
Sementara itu, pendekatan absolut mendefinisikan kelas menengah sesuai pendapatan alias pengeluaran konsumsi. Perbedaan arti dari dua pendekatan tersebut terletak pada ukuran pendapatan alias pengeluaran. Kelas menengah dari pendekatan relatif mempunyai pendapatan 75 dan 125 persen dari median pendapatan per kapita masyarakat.
Menurut ahli ekonomi India, Surjit Bhalla, kelas menengah dari pendekatan absolut merupakan orang-orang dengan pendapatan tahunan lebih dari US$3.900 (Rp 62 juta) dalam ukuran paritas daya beli (purchasing power parity alias PPP). Di sisi lain, ahli ekonomi Australia, Martin Ravallion menggunakan pendekatan cangkokan (hybrid) nan membedakan kelas menengah negara berkembang dengan negara maju.
Istilah kelas menengah mulai mendapatkan perhatian di Indonesia pada akhir 1970-an. Tepatnya ditinjau berasas kriteria politik. Salah satu cendekiawan, Rusadi Kantaprawira mengungkapkan, struktur sosial di Surabaya terdiri dari beragam lapisan masyarakat, ialah masyarakat miskin, pekerja pabrik, kaum intelektual kelas menengah, dan petani.
Selama ini, kaum intelektual kelas menengah kurang dilibatkan dalam pembangunan. Padahal, secara potensial golongan tersebut dapat menjadi oposisi pemerintah. Lalu, pada 1980-an, terdapat golongan menengah baru dari beragam kalangan masyarakat. Golongan tersebut sadar bakal kewenangan dan tanggungjawab politiknya nan mempunyai kepentingan terhadap sistem politik demokratis.
Golongan itu juga bakal menentang praktik politik nan menyimpang dari nilai-nilai demokrasi. Sejak awal mendapatkan perhatian, kelas menengah di Indonesia mempunyai potensi kekuatan nan sangat besar dalam beragam aspek kehidupan.
Dikutip dari Antara, kelas menengah memegang peranan krusial dalam penguatan perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia. Karakteristik utama kelas menengah di Indonesia mencakup pola konsumsi beragam. Misalnya, pengeluaran terbesar dialokasikan untuk makanan, diikuti oleh perumahan, kendaraan, kesehatan, pendidikan, hingga hiburan.
Sebagian besar pekerja dari kelas menengah mempunyai pekerjaan formal, dan menjalankan upaya produktif alias menjadi wirausahawan. Rentang pendapatan golongan ini mencerminkan style hidup nan relatif stabil, ialah bisa memenuhi kebutuhan dasar hingga mempunyai sisa pendapatan alias penghasilan untuk ditabung.
Kelompok ini juga umumnya sedang mencicil pembelian rumah alias angsuran pemilikan rumah (KPR), kendaraan pribadi, serta peralatan elektronik. Kepemilikan aset-aset ini mencerminkan kontribusi mereka dalam menggerakkan perekonomian, baik melalui pengeluaran konsumtif maupun pembayaran pajak.
Hanya saja, jika memandang nilai median alias nilai tengah dari urutan info pengeluaran nan diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai median kelas menengah berada di nomor Rp2.846.440 per kapita per bulan. Artinya, median pengeluaran masyarakat kelas menengah condong lebih dekat ke pemisah bawah pengelompokan.
KHUMAR MAHENDRA | LINDA LESTARI | RACHEL FARAHDIBA REGAR | VENDRO IMMANUEL G | RESEARCHGATE.NET
Pilihan editor: Pengamat Ungkap Berbagai Macam Efek Buruk Akibat Penerapan PPN 12 Persen