TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 31 Oktober 2024, mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Sidang nan dipimpin Ketua MK Suhartoyo mengabulkan pengetesan konstitusional 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang dimohonkan oleh Partai Buruh. Sementara itu, satu pasal nan dimohonkan tidak dapat diterima, sedangkan permohonan selain dan selebihnya ditolak lantaran tidak berdasar menurut hukum.
Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Para pemohon mengusulkan 71 poin petitum nan terdiri dari tujuh klaster dalil, ialah dalil mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, bayaran dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), duit pesangon (UP), duit penggantian kewenangan bayaran (UPH), dan duit penghargaan masa kerja (UPMK).
Berikut poin krusial putusan MK:
1. Pembuatan UU Ketenagakerjaan Baru
Mahkamah Konstitusi meminta pembentuk undang-undang, ialah DPR dan pemerintah, segera membikin undang-undang ketenagakerjaan baru dan memisahkannya dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
MK memberi waktu maksimal dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk merampungkan UU Ketenagakerjaan nan baru. MK juga mengingatkan agar pembuatan UU tersebut kudu melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh.
“Dengan UU baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi alias substansi UU Ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Substansi UU ketenagakerjaan nan baru, berdasar perintah MK, kudu menampung materi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan MK nan berangkaian dengan ketenagakerjaan.
“Dengan langkah mengaturnya dalam undang-undang tersendiri dan terpisah dari UU Nomor 6 Tahun 2023 (tentang Cipta Kerja), UU Ketenagakerjaan bakal menjadi lebih mudah dipahami,” ucap Enny.
MK menjelaskan, pembuatan UU baru diperlukan lantaran UU Ketenagakerjaan nan lama sudah tidak utuh. Sebagian materi alias substansinya dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam perkara uji materi terdahulu.
Selain itu, secara faktual, UU Ketenagakerjaan telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Akan tetapi, menurut MK, tidak semua materi alias substansi UU Ketenagakerjaan diubah oleh pembentuk undang-undang.
Artinya, hal-hal mengenai ketenagakerjaan pada saat ini diatur dalam dua undang-undang, ialah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Paling Lama Lima Tahun
Putusan tersebut merupakan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Hal ini merupakan salah satu norma nan dikabulkan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023.
“Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai: Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melampaui paling lama lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Iklan
Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 tersebut sebelumnya berbunyi: “Jangka waktu alias selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berasas Perjanjian Kerja.”
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menggarisbawahi bahwa perjanjian kerja dibuat antara pihak pengusaha dan pekerja alias pekerja dalam kedudukan para pihak nan tidak seimbang. Pekerja alias buruh, kata MK, merupakan pihak nan berada dalam posisi nan lebih lemah.
Oleh lantaran itu, MK menyatakan jangka waktu PKWT krusial untuk diatur di dalam undang-undang, bukan dalam peraturan turunan maupun perjanjian lainnya.
3. Tentang Pekerja Alih Daya
Pekerjaan dengan tenaga alih daya (outsourcing) hanya untuk nan bukan perkerjaan utama, seperti cleaning service, security, catering, driver. MK memandang UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan lebih baik.
4. Alasan PHK
Dalam UU Cipta Kerja, argumen pemutusan hubungan kerja dari nan sebelumnya telah dibatasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjadi lebih variatif nan diatur dalam
peraturan pelaksana Undang-undang Cipta Kerja misalnya argumen PHK lantaran efisiensi mencegah kerugian sebagaimana diatur dalam PP No 35 tahun 2021.
5. Besaran Uang Pesangon
Mengembalikan nilai kalkulasi pesangon sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan antara lain besaran pengali Uang Pesangon dalam perihal Pensiun sebelumnya dihitung 2 kali dan diganti menjadi 1,75 dan dihapus/dihilangkannya Uang Penggantian Hak sebesar 15% dari Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja;
6. Tumpang Tindih dengan UU CIpta Kerja
Menurut MK, tumpang tindih norma nan diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja bakal menakut-nakuti perlindungan kewenangan atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian norma nan setara bagi pekerja maupun pemberi kerja.
“Jika semua masalah tersebut dibiarkan berkepanjangan dan tidak segera dihentikan alias diakhiri, tata kelola dan norma ketenagakerjaan bakal mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian norma dan ketidakadilan nan berkepanjangan,” kata Enny.
Pembentukan UU ketenagakerjaan nan baru ini disampaikan MK dalam pertimbangan putusan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023, berkenaan dengan uji materi UU Cipta Kerja.
Pilihan Editor Sempat Saling Sindir, Bahlil Menyatakan Prihatin atas Kasus nan Membelit Tom Lembong