Pendaftarkan Sertifikat Halal Sampai 17 Oktober 2024, Ini Syarat yang Harus Dipenuhi

Sedang Trending 6 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama, Siti Aminah, mengatakan pihaknya sedang menggodok pemberian hukuman untuk pelaku upaya nan belum melakukan sertifikasi halal

"Sesuai izin ya itu Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 dan UU 6 Tahun 2023. Sekarang kami sedang menyusun perubahan nan berangkaian dengan tahapan tanggungjawab bersertifikat halal," ucap Siti pada Rabu, 8 Mei 2024.

Siti mengingatkan, bagi pelaku upaya nan belum melakukan sertifikasi sampai 17 Oktober 2024, bakal dikenakan hukuman sebanyak dua kali. Sanksi pertama adalah teguran dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH). Setelah itu, hukuman kedua berupa larangan produk untuk diedarkan, jika teguran diabaikan.

Saat ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sedang melakukan sosialisasi dan mengedukasi pelaku upaya khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) melakukan sertifikasi halal. Menurut Direktur Utama LPPOM, Muti Arinta Wati, sampai sekarang, ada 125 pelaku upaya di Indonesia nan diberi akomodasi sertifikasi cuma-cuma dari LPPOM MUI. 

Sebelum mendaftarkan sertifikat halal, para pelaku upaya kudu memenuhi beberapa syarat sesuai Keputusan Kepala BPJH Nomor 33 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendamping Proses Produk Halal dalam Penentuan Kewajiban Bersertifikat Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil nan Didasarkan atas Pernyataan Pelaku Usaha.

Dilansir dari kemenag.go.id, berikut adalah syarat-syarat nan kudu dipenuhi pelaku upaya untuk mendaftar sertifikat legal upaya kecil: 

  1. Produk tidak berisiko alias menggunakan bahan nan sudah dipastikan halal;
  2. Proses produksi dipastikan legal dan sederhana;
  3. Hasil penjualan tahunan maksimal Rp500 juta nan dibuktikan dengan pernyataan berdikari dan mempunyai modal upaya sampai maksimal Rp2 miliar;
  4. Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);
  5. Memiliki lokasi, tempat, dan perangkat proses produk legal (PPH) nan terpisah dengan lokasi, tempat, dan perangkat proses produk tidak halal;
  6. Memiliki alias tidak mempunyai surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT), Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan alias minuman dengan daya simpan kurang dari tujuh hari alias izin industri lainnya atas produk nan dihasilkan dari dinas alias instansi;
  7. Memiliki outlet atau akomodasi produksi paling banyak satu lokasi;
  8. Aktif berproduksi satu tahun sebelum permohonan sertifikasi halal;
  9. Produk nan dihasilkan berupa barang, bukan jasa alias upaya restoran, kantin, catering, alias rumah makan;
  10. Bahan nan digunakan sudah pasti legal dibuktikan dengan sertifikat legal alias termasuk daftar bahan sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan nan Dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal;
  11. Tidak menggunakan bahan berbahaya;
  12. Diverifikasi legal oleh pendamping PPH;
  13. Jenis produk nan disertifikasi legal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, selain berasal dari produsen alias rumah pangkas hewan bersertifikasi halal;
  14. peralatan produksi dengan teknologi sederhana, manual, alias semi otomatis (usaha rumahan bukan upaya pabrik);
  15. Proses pengawetan produk nan dihasilkan tidak menggunakan teknik radiasi, rekayasa genetika, penggunaan ozon, dan kombinasi beberapa metode pengawetan (teknologi hurdle); serta
  16. Melengkapi arsip pengajuan sertifikat legal dengan sistem pernyataan pelaku usaha secara online melalui SIHALAL.

DESTY LUTHFIANI

Pilihan Editor: 80 Persen UMKM di Sumut Belum Miliki Sertifikat Halal, Kemenkop UKM Fasilitasi 1.000 Sertifikat Gratis

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis