Pengamat Dorong Media Massa Perbanyak Model Bisnis Agar Tak Bergantung Iklan

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Bisnis media massa di Indonesia berada dalam situasi rentan. Akademisi sekaligus pengamat media, Ignatius Haryanto menilai, ketergantungan media massa terhadap iklan cukup tinggi namun porsi iklan untuk media massa kian berkurang menjadikan upaya media semakin lesu. “Ada kecenderungan besar media berjuntai pada iklan sehingga sangat tergantung pada platform-platform raksasa,” kata Ignatius saat dihubungi Tempo, Ahad, 6 Oktober 2024.

Platform raksasa nan dimaksud Ignatius di antaranya Google dan Meta nan mendistribusikan kebanyakan publikasi-publikasi media massa. Menurutnya, platform-platform tersebut melalui algoritmanya mendikte kerja-kerja media. Indonesia Digital Conference (IDC), forum tahunan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), nan digelar 29 Agustus 2024 lampau juga membahas tentang minimnya porsi iklan bagi media massa alias publisher. Dalam siaran pers AMSI disebut perkiraan proyeksi tren shopping iklan pada 2024 mencapai Rp71,5 triliun. Namun, 80 persen di antaranya diperkirakan masuk ke platform digital seperti Google dan Meta.

Mengenai kondisi tersebut, Ignatius beranggapan media massa perlu mencari model upaya pengganti selain berjuntai pada iklan. “Harus mencoba keluar dari jebakan platform,” kata dia. Ignatius menyebut salah satu pengganti nan bisa dilakukan dengan membikin aktivitas out of media yang merujuk pada aktivitas upaya seperti event organizer hingga menggelar kelas-kelas pelatihan.

Selain itu, model upaya berlangganan juga patut jadi pertimbangan. Sejumlah media, terutama nan dulunya berbasis cetak telah menerapkan sistem semacam ini. “Semuanya perlu dicoba. Saya kira tetap ada kesempatan untuk tidak terjebak pada algoritma nan disusun perusahaan platform,” ujarnya.

Menurutnya, dalam menerapkan sistem langganan atau subscribtion based, media perlu melakukan pendekatan intensif kepada para audiens. Namun, pertama-tama kudu melakukan assessment untuk mengenal lebih jauh kalangan mana nan menjadi pembaca.

Model upaya berlangganan sudah berkembang di beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat. Laporan Forbes.com berjudul Why Future of Media Is Subscribtion-Based, menceritakan gimana model upaya itu bisa mengembangkan The New York Times (NYT).

Iklan

Pada 2012, tulis laporan tersebut, The NYT mempunyai empat saluran pendapatan ialah langganan cetak, iklan cetak, iklan digital, dan langganan digital. Namun, tiga saluran awal perlahan mengalami penurunan pendapatan. Sementara lini keempat, ialah langganan digital, justru tumbuh.

Mantan CEO NYT, Mark Thompson, mengatakan bahwa kunci untuk membikin orang rela bayar langganan adalah menciptakan buletin nan menarik. Ia menegaskan bahwa ada buletin nan ditulis dan dilaporkan dengan baik dan ada buletin nan buruk. “Berita nan lebih baik membikin pengguna nan pandai bakal membayarnya,” kata Thompson, seperti dikutip dari Forbes.

Tercatat, pada 2022 lampau NYT memperoleh pendapatan sebesar US$ 2.3 miliar. US$ 1,55 miliar di antaranya berasal dari langganan cetak dan digital. Sementara 63 persen dari pendapatan langganan itu berasal dari digital.

Pilihan editor: Ekonom Sarankan Pemerintahan Prabowo Evaluasi Program Bansos Agar Tepat Sasaran

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis