TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Komoditas dan Mata Uang DCFX Futures, Lukman Leong, menyebut aspek utama pelemahan rupiah adalah dari eksternal, ialah kebijakan Federal Reserve alias The Fed.
"Sikap Ketua The Fed Jerome Powell nan tetap hawkish menyebabkan penguatan pada dolar AS dan perlemahan rupiah. Walau demikian, data-data ekonomi AS, terutama inflasi, telah menunjukkan tekanan nilai sudah mulai mendingin alias cooldown," kata Lukman kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin, 17 Juni 2034.
Data ekonomi AS itulah nan membikin Lukman menyimpulkan ada angan bahwa pelemahan nan tajam terhadap mata duit rupiah bisa berakhir. "Namun, jangan terlalu berharap, lantaran info ekonomi bisa terus berubah dari waktu ke waktu. Seperti biasanya, BI (Bank Indonesia) bakal terus memantau volatilitas nilai tukar dan mencegahnya dengan intervensi," tuturnya.
Sementara aspek internal nan berpengaruh terhadap pelemahan rupiah adalah tetap lemahnya permintaan regional dan Cina, sehingga keahlian ekspor menurun. "Begitu pula permintaan domestik nan lemah, membikin penjualan ritel dan impor juga menurun."
Lukman menyebut, Bank Indonesia alias BI mungkin saja bakal meningkatkan kembali suku bunga (BI rate). "Walaupun ekonomi alias inflasi tidak mencerminkan tingkat suku kembang nan tinggi sekarang, namun BI senantiasa mengatakan kebijakan mereka bermaksud untuk menjaga stabilitas nilai tukar, sehingga kemungkinan untuk kenaikan suku kembang tetap sangat terbuka," katanya.
Iklan
Menurut Lukman, nilai tukar rupiah bisa menembus Rp 17 ribu jika BI kurang garang dalam melakukan intervensi. "Namun, saya percaya BI telah mengantisipasi perihal ini."
Lukman menambahkan, pelemahan mata duit rupiah ini pasti bakal berakhir. Namun, kata dia, bukan berfaedah bisa diharapkan bakal berhujung dengan cepat. "Semua ini pasti berakhir, cuman masalah waktu saja, tapi jangan terlalu berambisi untuk sigap berakhir," katanya.
Pilihan Editor: PHRI Sebut Jelang Libur Idul Adha Penghuni Hotel di Bali Meningkat 80 Persen