TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan ramai dikritik lantaran dianggap berakibat pada pelemahan daya beli. Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan pemerintah perlu menyiapkan insentif untuk menjaga konsumsi imbas penerapan PPN 12 Persen.
Kenaikan tarif PPN tahun depan disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan komisi XI DPR pada Rabu lalu. “Sudah ada UU-nya kita perlu siapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan nan baik,” kata dia di Senayan, Rabu, 13 November 2024.
Ajib mengatakan kenaikan tarif PPN bisa mengerek penerimaan, tapi dapat menekan perekonomian. Karena itu, perlu disiapkan insentif untuk menjaga daya beli. Keringanan nan bisa diberikan contohnya dengan meningkatkan pemisah penghasilan tidak kena pajak (PTKP). “PTKP nan sejak tahun 2016 sebesar Rp 54 juta per tahun, bisa dinaikkan batasnya,” kata dia kepada Tempo, Jumat 15 November 2024.
Besaran PTKP saat ini tetap menggunakan hitungan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Batas penghasilan tak kena pajak adalah Rp 54 juta per tahun alias Rp 4,5 juta per bulan bagi wajib pajak berstatus belum menikah. Artinya orang dengan penghasilan kurang dari nilai tersebut tak kena potongan pajak penghasilan. Sampai saat ini batas PTKP tetap merujuk pada beleid nan dibuat pada 2016 itu.
Pemerintah, kata Ajib, kudu mendorong izin nan komprehensif dan pro dengan masyarakat. Kenaikan tarif PPN 12 persen, menurut dia berpotensi menambah penerimaan negara sekitar Rp 80 triliun. Tetapi daya beli nan merosot, bakal memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengatakan kenaikan tarif PPN 12 persen dikhawatirkan tidak sejalan dengan peningkatan penerimaan negara. Bob merekomendasikan pemerintah memberikan relaksasi alias insentif pajak penghasilan 21 Ditanggung Pemerintah (PPh 21 DTP), seperti saat pandemi covid-19. Dengan pemerintah menanggung pajak penghasilan karyawan, diharapkan daya beli dan tetap terjaga lantaran pekerja mendapat keringanan.
Sementari itu Jaringan pengusaha Muhammadiyah nan tergabung dalam Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) berambisi pemerintah membatalkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Sekretaris Jenderal SUMU, Ghufron Mustaqim, menilai kebijakan itu tidak sensitif kepada pengusaha nan sedang berjuang di tengah penurunan daya beli masyarakat.
"Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika bumi upaya saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikkan nomor pengangguran," kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 15 November 2024.
Ghufron menegaskan, saat ini banyak perusahaan nan kebanyakan merupakan UMKM sedang berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi. Bahkan, kata dia, banyak nan memutuskan mengurangi jumlah tenaga kerja hingga gulung tikar sehingga menurutnya rencana kenaikan PPN menakut-nakuti kelangsungan upaya mereka.
Ia menyitir info Bursa Efek Indonesia (BEI) tentang rasio untung bersih dengan pendapatan perusahaan kategori LQ45 nan hanya berkisar 11 persen. Menurutnya, untung bersih itu tidak jauh berbeda dengan tarif PPN nan bakal dikenakan.
Untuk itu, kata dia, tarif PPN nan lebih rendah bakal dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat. “Sebab, harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif. Pada gilirannya, ini dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Ia mengingatkan, kebijakan nan bakal bertindak pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya enam persen. Adapun di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak bakal semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.
"Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia semestinya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara berjenjang turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.