Ramai-ramai Eks Hakim Konstitusi Kritik DPR Diam-diam Revisi UU MK

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Para mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ramai-ramai mengkritik revisi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK nan dilakukan DPR dan pemerintah. Salah satu alasannya, pembahasan RUU itu dilakukan dalam rapat tertutup di luar masa sidang DPR.

Kritik datang dari eks Ketua MK Hamdan Zoelva. Ia menganggap RUU MK jadi ancaman terhadap status Indonesia sebagai negara norma lantaran independensi para pengadil MK bisa hilang.

"Salah satu pondasi pokok negara norma adalah independensi dari negara peradilan. Kalau lembaga peradilan kehilangan independensinya, maka tamatlah riwayat negara norma itu," kata Hamdan dalam obrolan nan digelar PSHK, Kamis (16/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hamdan menjelaskan pintu masuk ancaman terhadap independensi peradilan tak melulu soal kebiri kewenangan lembaga. Namun, juga bisa masuk melalui rekrutmen nan tak ahli hingga masa kedudukan pengadil nan kerap diutak-atik.

Ia menyoroti persoalan utama dalam revisi UU MK adalah masa kedudukan dan pengawasan hakim. Dalam draf RUU MK, masa kedudukan pengadil ditentukan maksimal 10 tahun.

Untuk melanjutkan jabatan, para pengadil konstitusi kudu dievaluasi dan dapat persetujuan lembaga pengusul, ialah pemerintah, DPR, alias Mahkamah Agung (MA).

Menurut Hamdan, kondisi ini dapat memicu ketegangan baru dan memudarnya independensi pengadil lantaran posisi mereka sangat tergantung pada lembaga pengusul.

"Ini bakal terjadi ketegangan baru lagi antara perdebatan supremasi konstitusi dan supremasi norma dengan kekuasaan politik. Saya mau lihat dari sisi substansinya, itu corak nan secara langsung dan nan bakal sangat mengganggu independensi dari pengadil konstitusi," kata Hamdan.

"Ini menunjukkan bahwa posisi pengadil menjadi sangat tergantung pada lembaga pengusul. nan lama itu hanya lima tahun itu. Kalau lima tahun itu ya sudah selesai, jika mau ikut diberi kesempatan alias dengan melakukan pendekatan ulang, tapi ini kan dengan persetujuan," tambahnya.

Pada kesempatan nan sama, mantan pengadil MK I Dewa Gede Palguna mempertanyakan langkah DPR merevisi UU MK secara diam-diam saat masa reses.

Palguna juga mengaku heran DPR kerap mengutak-atik masa kedudukan pengadil hingga masa kedudukan ketua MK lewat revisi UU. Baginya, revisi UU MK ini tidak signifikan untuk mewujudkan MK sebagai lembaga nan independen.
"Pertanyaan pertama muncul dari saya adalah, 'Masih berfaedah enggak sih, orang-orang mahir itu diundang untuk bicara soal itu? Masih berfaedah kah?'. Kan mereka suka-suka saja, besok tiba-tiba sudah disahkan saja. Semacam di-court picking-kan ala Indonesia," kata dia.

Palguna pun pesimistis pengadil MK bisa independen dalam melaksanakan tugas. Ia menegaskan status Indonesia sebagai negara norma berjuntai pada MK sebagai pengawal konstitusi.

"Justru soal-soal lain nan bisa meningkatkan wibawa dan kebutuhan publik bahwa MK dibutuhkan, justru tidak pernah di-insert dalam perubahan UU MK. Apa itu? Melengkapi ketentuan norma aktivitas di MK. Soal impeachment presiden, lampau dalam pembubaran parpol, itu diatur dalam peraturan MK," ucap Palguna.

Sementara itu, mantan pengadil MK Wahidudin Adams berpesan kepada para pengadil konstitusi nan menjabat agar tidak takut jika UU MK hasil revisi ini digugat ke MK.

Ia menuturkan para pengadil kudu berani mengedepankan independensi dan integritas ketika menghadapi beragam gugatan di masa mendatang.

"Hadapi bujukan dan ancaman-ancaman di pasal-pasal ini. Ketika RUU jadi UU, jika diuji di MK ya para pengadil ya kudu tidak boleh takut," kata Wahidudin.

"Tapi sekali lagi ini untuk katakan percaya diri pada integritas," tambahnya.

Pada Senin (13/5), Komisi III DPR menggelar rapat pengambilan persetujuan tingkat pertama dengan pemerintah soal revisi UU MK. Rapat digelar tertutup di luar masa sidang DPR.

Kini, RUU MK pun tinggal selangkah disahkan sebagai undang-undang dalam rapat paripurna.

Total ada tiga poin revisi dalam RUU MK, ialah Pasal 23A, Pasal 27A, dan Pasal 87. Salah satu nan diatur adalah para pengadil konstitusi hanya dapat melanjutkan kedudukan setelah mendapat persetujuan dari lembaga pengusul ialah DPR, MA, dan pemerintah.

(rzr/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional