Jakarta, CNN Indonesia --
Para calon kepala dan wakil kepala wilayah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) nan maju pada Pilkada 2024 tumbang di lumbung bunyi tradisional mereka di DKI Jakarta, Depok, dan Jawa Barat.
Di Jakarta, berasas hasil hitung sigap sejumlah lembaga survei, Ridwan Kamil dan Suswono keok melawan Pramono Anung-Rano Karno.
Suswono merupakan kader senior PKS nan pernah menjabat jadi Menteri Pertanian di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian di Depok, pasangan calon Imam Budi Hartono-Ririn Farabi Arafiq nan diusung PKS dan Golkar juga tumbang berasas quick count lembaga survei. Mereka kalah dari rivalnya, Supian Suri-Chandra Rahmansyah.
Demikian pula di Jawa Barat. Presiden PKS Ahmad Syaikhu nan maju jadi calon gubernur kalah dari Dedi Mulyadi. Syaikhu maju berbareng putra Presiden ke-3 RI BJ Habibie, Ilham Akbar Habibie.
Mengapa perihal ini bisa terjadi? Apakah kekuasaan PKS di daerah-daerah tersebut sudah memudar?
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Arif Susanto menilai tokoh-tokoh PKS nan tampil sebagai calon kepala alias wakil kepala wilayah kurang memikat. Akhirnya, PKS malah mendompleng nama Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebagai pengatrol suara.
Misalnya di Jakarta, Pramono-Rano tak terlalu menonjolkan identitas partai, sehingga lebih banyak komponen masyarakat nan bisa menerima pasangan ini.
"Ini berbeda dengan Suswono. Bukan hanya keterkenalannya di Jakarta rendah, tetapi juga membikin blunder-blunder. Terlihat bahwa kantong krusial pemilih PKS, lebih masuk ke Rano," kata Arif saat dihubungi, Rabu (27/11).
Selain itu, support dua mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), juga menambah bunyi Pramono-Rano secara signifikan.
Sementara Ridwan Kamil nan lekat dengan 'Bobotoh' alias pendukung Persib Bandung membawa sentimen negatif meskipun tak besar. Suswono juga tak punya kharisma bagi suporter Persija 'The Jakmania'.
Hal lainnya, kata Arif, mesin PKS mulai melemah. Salah satu penyebabnya ialah masalah di internal PKS nan akhirnya memunculkan Partai Gelora.
"Kali ini pertarungan faksinya berkompetisi sangat keras. Itu punya pengaruh atas keterpilihan wakil PKS," kata Arif.
"Memang mereka bisa rebound di pilpres, tetapi nan terjadi hari ini terbukti kekuatan PKS itu di organisasional dan bukan personal. Padahal pilkada itu figur individual menentukan," tambahnya.
Minim warisan membanggakan
Arif juga mengatakan PKS tak punya warisan membanggakan selama nyaris dua dasawarsa menguasai Depok. Menurutnya, tidak ada perubahan berfaedah dalam kepemimpinan PKS.
"Dari era Nur Mahmudi Ismail, sebenarnya Depok tidak mengalami lompatan signifikan. Ada perubahan, betul. Kemajuan terjadi, iya. Pembangunan dilakukan, juga benar. Tapi tidak ada perubahan nan signifikan," kata dia.
Kemudian, lanjut Arif, sekarang pemilih semakin cerdas. Ia mengatakan pemilih alias pendukung partai belum tentu memilih figur nan dicalonkan partai.
"Boleh jadi wakil PKS kalah lantaran split voters. Pilihan orang terhadap partai, tidak serta merta membikin dia melakukan pilihan ke figur nan dicalonkan partai di Pilkada," ucap Arif.
"Pemilih itu makin cerdas. Ini biasanya jauh lebih kuat di golongan pemilih terdidik, perkotaan, dan sosial ekonomi nan lebih. Apakah Depok mengalami itu? Perlu ditelaah lebih jauh saya kira," tuturnya.
Namun, kegagalan PKS di Jakarta, Depok, dan Jawa Barat dinilai bisa menjadi momentum positif untuk menata ulang soliditas organisasi partai sekaligus mengasah kader-kader mudanya.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs Khoirul Anam menilai PKS tidak bakal bisa jadi sebesar ini tanpa militansi pengkaderan organisasi. Ia mengingatkan PKS untuk tak lupa pada akar mereka.
Ia pun mengatakan kekalahan PKS di Jakarta tak terlepas dari kekecewaan pendukung mereka lantaran batal mengusung Anies Baswedan. Padahal, PKS bisa mengusung pasangan calon sendiri di Jakarta.
Akhirnya, Anies jadi 'simbol perlawanan' terhadap RK-Suswono lantaran menyatakan mendukung Pramono-Rano.
"Kedekatan Pramono-Rano dengan Anies nan menjadi simbol perlawanan terbuka pada kekuatan politik nan mengorkestrasi kekuasaan peta politik Jakarta," kata Khoirul.
"Mampu mengkonsolidasikan pedoman pemilih loyal Anies untuk mendukung Pramono-Rano, nan mana banyak di antara mereka beririsan dengan pedoman pemilih loyal PKS," ucapnya.
(abs/tsa)
[Gambas:Video CNN]