Rupiah Loyo, Ketua Banggar DPR Waspadai Ancaman Krisis Finansial

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menunjukkan tren pelemahan sejak awal 2024. Melemahnya Rupiah tak terlepas dari beragam aspek eksternal dan internal, di antaranya kebijakan suku kembang tinggi The Fed, berkurangnya minat penanammodal asing, dan melemahnya nilai komoditas ekspor.

Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, memandang dari sisi eksternal kebijakan suku kembang tinggi The Fed untuk menekan inflasi di Amerika Serikat (AS) memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini menyebabkan nilai tukar mata duit negara berkembang, termasuk Rupiah, tertekan.

Sementara itu, di sisi internal, minat penanammodal asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pandemi COVID-19, tingginya inflasi, dan ketidakpastian geopolitik global.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pada tahun 2019, porsi asing dalam SBN sebanyak 38,5 persen, setahun kemudian tinggal 25,1 persen, dan akhir Mei 2024 tersisa 14 persen. Perginya penanammodal asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan US Dolar juga kian menurun," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (18/6).

Lebih lanjut, dia menilai melemahnya nilai komoditas ekspor utama Indonesia seperti batu bara dan CPO juga turut memperburuk kondisi Rupiah.

Harga batu bara nan ambruk dari level US$400/ton di awal 2022 menjadi hanya US$120/ton saat ini. Sementara nilai CPO turun dari MYR4.200-4.400/ton pada 2022 menjadi MYR3.800-3.900/ton, menyebabkan berkurangnya pasokan Dolar AS dari sektor ekspor.

Di sisi lain, tingginya impor peralatan dan jasa oleh Indonesia juga menambah tekanan pada Rupiah. Hal ini menyebabkan defisit neraca perdagangan dan neraca melangkah nan semakin besar, sehingga memperburuk kondisi Rupiah.

"Bukan hanya rupiah nan terpukul lantaran meluaskan kran impor, sejumlah industri dalam negeri seperti tekstil malah gulung tikar dan merumahkan karyawannya," ucap dia.

Tak hanya itu saja, Said melanjutkan, dari sisi eksternal perekonomian AS perlahan lahan makin membaik sejak angin besar inflasi pada 2022. Penguatan perekonomian AS ini membikin penanammodal memilih meninggalkan Indonesia.

Akibatnya, pada tahun lampau current account Indonesia defisit US$1,6 miliar. Bahkan food trade deficit Indonesia pada 2023 menyentuh US$ 5,3 miliar, nomor tertinggi hingga saat ini.

Said pun mengingatkan agar kita tidak terlena dengan info inflasi nan rendah di level 3 persen. Menurutnya, inflasi rendah tidak bisa secara langsung diartikan sebagai terkendalinya nilai kebutuhan pokok rakyat.

Jika disandingkan dengan sejumlah info lainnya seperti berlanjutnya keputusan sejumlah industri merumahkan karyawan, tingkat konsumsi rumah tangga pada 2023 dan 2024 nan tengah berjalan, tidak setinggi 2022.

Ia pun memaparkan, perihal ini dapat terlihat dari survei tingkat penjualan satuan jenis sandang oleh BI sejak pandemi dari 2020 sampai sekarang. Saat ini nilainya tetap di level 51,8-57, sedangkan periode sebelum pandemi di kisaran 150-240.

"Keadaan ke depan nan kita bakal hadapi tidak bakal mudah. Hampir dipastikan The Fed tetap bakal memperkuat di suku kembang tinggi, dan ketidakpastian geopolitik global, nan bakal mendorong kebijakan restriktif oleh masing-masing negara, demi mengamankan kepentingan nasional mereka masing-masing," paparnya.

Antisipasi Tantangan

Melihat tantangan nan menghadang Indonesia dalam waktu dekat, Said berambisi pemerintah kudu bisa meningkatkan kepercayaan rakyat. Menurutnya, ucapan dan tindakan pemerintah dan pemimpin nasional kudu bisa menjadi keteladanan dalam rangka membangun kepercayaan rakyat.

"Kesampingkan terlebih dulu kepentingan sesaat, di antara para elit. Sebab jika keadaan ekonomi ini semakin memburuk, lagi-lagi nan bakal menerima akibat paling awal adalah rakyat kita sendiri," tegas dia.

Ia pun menambahkan, dari sisi teknokratik dia meminta pemangku kebijakan fiskal dan moneter kian memperkuat kebijakan struktural perekonomian nasional. Beberapa langkah tersebut antara lain:

1. Memastikan tata kelola devisa, terutama devisa hasil ekspor sumber daya alam melangkah optimal untuk memperkuat persediaan devisa. Berikan kebijakan insentif dan hukuman nan sepadan untuk menopang tata kelola devisa nasional.

2. Terus melakukan reformasi pada sektor finansial agar lebih inklusif, dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh. Sebab aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II 2024 (sampai dengan 30 Mei 2024) secara neto tercatat sebesar US$3,3 miliar. Artinya kesempatan ini perlu terus di jaga oleh pemerintah dan BI.

3. Perketat kebijakan impor, terutama pada sektor-sektor nan makin menggerus devisa, dan memukul sektor industri dan tenaga kerja. Importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek untuk menambal defisit pangan dan daya nan terus berlanjut.

4. Pemerintah perlu memastikan SBN sebagai instrumen nan menarik bagi penanammodal asing, dengan yield nan moderat agar tidak menjadi beban bunga. Pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN, karena SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan krusial bagi kelangsungan APBN.

5. Pemerintah perlu memperluas dan makin imajinatif untuk menopang kebutuhan pembiayaan di tengah likuiditas nasional dan dunia nan makin ketat dan terbatas. Libatkan beragam organisasi masyarakat dan asosiasi pengusaha nan menghimpun likuiditas besar ikut berperan-serta dengan saling menguntungkan.

6. Berbagai kebijakan Bank Indonesia nan mengurangi dolar AS sebagai pembayaran internasional, dengan membikin sejumlah local currency swab terasa belum terlihat outcome-nya. Untuk itu, Bank Indonesia perlu memastikan kebijakan ini sesegera mungkin dapat diandalkan, sehingga ketergantungan terhadap dolar AS perlahan lahan bisa di kurangi.

7. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu antisipasi kebutuhan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, BUMN dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging, agar tidak makin membebani sektor keuangan.

Situasi pelemahan Rupiah dan ancaman resesi memang mengkhawatirkan. Namun, dengan kesatuan dan gotong royong semua pihak, Indonesia dapat melewati masa susah ini dan membangun esensial ekonomi nan lebih kuat.

(rir)

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional