TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Serikat Pekerja Kampus alias SPK, Dhia Al Uyun, menyebut penghasilan kebanyakan dosen nan tetap di bawah Rp 3 juta membikin banyak akademisi tergiur dengan kedudukan nan ditawarkan secara politis oleh penguasa. Dia mencontohkan bahwa kekurangan pendapatan kerap membikin pengajar bermimpi memperoleh jabatan, seperti komisaris, dibandingkan konsentrasi dalam penelitian.
"Mereka merasa menjadi komisaris merupakan perihal nan menguntungkan lantaran mereka tidak pernah menerima nominal (gaji) dahsyat dalam lingkungan universitas," kata Dhia dalam keterangannya kepada Tempo, Senin, 6 Mei 2024.
Dosen Universitas Brawijaya (UB) itu menilai, kondisi kekurangan finansial itu menjadi penyebab adanya akademisi nan berfokus mencari jabatan. Dia menyebut kedudukan krusial seringkali ditawarkan kepada akademisi kelas atas nan dianggap dekat dengan kekuasaan.
"Mereka bakal sangat mudah sekali menyetujui hal-hal nan berkenaan dengan politik praktis dan meminggirkan keilmuan demi urusan dapur," tuturnya.
Lebih lanjut, master tata negara itu juga mengkritik sistem rangkap kedudukan dalam perguruan tinggi nan tetap dianggap lazim. Dia menyayangkan kondisi para intelektual nan menormalisasi memegang kedudukan lain nan tidak berasosiasi dengan profesinya.
"Tugas akademisi nan memegang muruah keilmuan menjadi hancur dan menghilang akibat pola pendidikan nan jauh dari pengelolaan nan profesional," ujarnya.
Sebelumnya, hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus alias SPK mengungkap kebanyakan pengajar menerima penghasilan bersih kurang dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023. Termasuk pengajar nan telah mengabdi selama lebih dari enam tahun.
Sekitar 76 persen responden alias pengajar mengaku kudu mengambil pekerjaan sampingan lantaran rendahnya penghasilan dosen. Pekerjaan itu membikin tugas utama mereka sebagai pengajar menjadi tersendat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan.
Selain itu, pengajar di universitas swasta jauh lebih rentan terhadap penghasilan rendah. Peluangnya tujuh kali lebih tinggi untuk menerima penghasilan bersih kurang dari Rp 2 juta. Sebanyak 61 persen responden merasa kompensasi mereka tidak sejalan dengan beban kerja dan kualifikasi mereka.
Anggota tim penelitian dan pengembangan SPK, Fajri Siregar mengatakan beberapa pengajar merasa kurang dihargai. “Ini mempengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam tugas dosen,” kata dia melalui Zoom pada Kamis, 2 Mei 2024.
Iklan
Respons Pemerintah
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Warsito, angkat bicara soal keluhan nan disampaikan oleh Serikat Pekerja Kampus (SPK) nan menyebut kebanyakan pengajar bergaji di bawah Rp 3 juta.
Warsito menjelaskan, pendidikan tinggi di Indonesia terbagi dalam dua kelompok, ialah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dia menyebut rendahnya penghasilan pengajar di PTS berjuntai pada status kepegawaian pengajar dan sumber daya yayasan nan menyediakan pendidikan tinggi.
"Harus dilihat betul apakah sampel nan diambil merupakan pengajar tetap alias pengajar tidak tetap," kata Warsito dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo, Sabtu, 4 Mei 2024.
Warsito menjelaskan, setiap yayasan mempunyai patokan masing-masing. Dia mencontohkan, pengajar tetap mendapat penghasilan tetap dan honor jam/sks kuliah sedangkan pengajar tidak tetap hanya mendpt honor sesuai dengan jumlah sks.
Lebih lanjut, Warsito mengakui adanya yayasan alias PTS nan tidak sehat di mana sumber dayanya rendah. Dia menduga pengajar nan mengajar di PTS inilah nan mengalami kekurangan pendapatan sehingga bekerja sampingan.
SAVERO ARISTIA WIENANTO | AISYAH AMIRA WAKANG
Pilihan editor: Wakil Sri Mulyani Harap Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen Bisa Gaet Investor