TEMPO.CO, Jakarta - Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai tokoh ekonomi nan berkedudukan krusial dalam sejarah bank di Indonesia, baik pada masa kolonialisme maupun era awal pemerintahan republik. Lahir di Purbalingga pada 16 Mei 1894, Margono berasal dari family bangsawan dan mendapatkan pendidikan nan lebih baik dibandingkan kebanyakan orang pada masanya.
Dilansir dari laman esi.kemdikbud.go.id, Margono adalah cucu nenek dari Raden Tumenggung Banyakwide, pengikut setia Pangeran Diponegoro, dan anak dari asisten Wedana Banyumas. Pada usia enam tahun, dia mulai berguru di Europeesche Lagere School (ELS) dan lulus pada 1907.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah calon pegawai negeri Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang dan sukses menyelesaikannya pada 1911. Setelah lulus dari OSVIA, Margono bekerja sebagai ahli tulis di Banyumas dan kemudian di Cilacap.
Pada 1915, Margono menikah dengan Siti Katoemi Wirodihardjo, dan mereka dikaruniai lima anak, termasuk ahli ekonomi terkenal Soemitro Djojohadikoesoemo. Dua anaknya, Subianto dan Sujono, gugur dalam pertempuran Lengkong melawan pasukan Jepang.
Margono kemudian diterima sebagai pegawai di Dinas Perkreditan Rakyat dan naik pangkat, menjabat posisi nan biasanya dipegang oleh orang Belanda di Madiun. Keberhasilannya membikin pejabat Hindia Belanda mengirimnya ke Belanda pada 1937 untuk membantu Kementerian Urusan Jajahan.
Sekembalinya ke Indonesia, Margono bekerja di Departemen Urusan Ekonomi hingga pendudukan Jepang pada 1942. Pada masa pendudukan Jepang, Margono bekerja di Shomin Ginko (Bank Rakyat) dan kemudian membantu Mangkunegara VII di Keraton Mangkunegaran.
Di sana, dia bekerja mengurus bahan makanan, penyuluhan petani, dan mengawasi rumah gadai. Margono dikenal lantaran kemampuannya memanipulasi pasukan Jepang untuk melindungi persediaan bahan makanan rakyat. Setelah proklamasi kemerdekaan, Margono diangkat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) nan bekerja memberi nasihat kepada pemerintahan.
Iklan
Pada 1946, dia mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) dan memindahkannya ke Yogyakarta saat pemerintah Indonesia hijrah ke sana. BNI berfaedah sebagai bank sentral dan berkedudukan krusial dalam ekonomi Indonesia nan baru merdeka.
Margono ini merupakan ayah Sumitro Djojohadikusumo. Artinya, dia kakek presiden terpilih Prabowo Subianto.
Margono terlibat dalam upaya diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional. Salah satu upaya krusial adalah pengiriman beras ke India oleh Perdana Menteri Sjahrir. Selain itu, Margono menyelamatkan aset BNI berupa emas seberat tujuh ton saat Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.
Emas tersebut dijual ke Macau, dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan pangan, biaya diplomasi, dan persediaan perang melawan Belanda. Margono berkedudukan hingga tercapainya pengakuan Indonesia secara de facto dan de jure melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pada 1950, dia mendirikan Yayasan Hatta nan bergerak di bagian pengetahuan pengetahuan dan pendidikan, bermaksud meningkatkan kepintaran generasi penerus bangsa. Margono meninggal pada 25 Juli 1978 di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman family di Dawuhan, Banyumas, Jawa Tengah.
Pilihan Editor: 78 Tahun BNI, Perjalanan Bank Negara Indonesia Berdiri Setahun Setelah Kemerdekaan RI