Survei DGI 2024: 66 Persen Organisasi Sosial di Asia Mendapat Serangan Siber

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Laporan Doing Good Index (DGI) 2024 merekam adanya kejadian masifnya digitalisasi dalam organisasi sosial di Asia, termasuk di Indonesia, nan rentan terhadap serangan siber. Dari 2.183 organisasi nan menjadi responden, ada 66 persen mengaku pernah mendapat serangan siber. 

Doing Good Index (DGI) 2024 ini juga menyinggung serangan siber nan sedang dialami Pusat Data Nasional Sementara (PDSN). Dalam laporan ini, ada 66 persen organisasi nan mendapat serangan siber dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini dinilai lebih rentan lantaran hanya 31 persen organisasi nan mempunyai rencana keamanan siber. 

Peneliti Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin, menyebut organisasi sosial ini juga minim mengantisipasi dan mitigasi dalam menghadapi serangan siber. Dalam penggunaan antivirus spyware/malware software hanya ada 47 persen, training staf ada 32 persen, dan sewa konsultan alias vendor hanya 12 persen. 

"Meski sudah sering menjadi korban serangan siber, nampaknya kesadaran pengurus alias staf organisasi sosial terhadap keamanan siber tetap rendah. Terbukti belum banyak organisasi sosial nan mengalokasikan sumber daya untuk mengantisipasi perihal tersebut. Minimnya sumber biaya dan skill membikin mereka pasif dan pasrah menerima resikonya,” kata Hamid seperti dalam keterangan tertulis pada Kamis, 4 Juli 2024. 

Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) meluncurkan laporan Doing Good Index (DGI) 2024 nan bekerjasama dengan Yayasan Penabulu, Co-Evolve II, Dompet Dhuafa dan Human Initiative di Jakarta, pada Kamis siang, 7 Juli hari ini. Doing Good Index alias Indeks Berbuat Baik merupakan kajian 2 tahunan nan menggambarkan peta kebijakan, praktik institusi, dan lanskap sektor sosial di 17 negara Asia, termasuk di Indonesia. Kajian ini melibatkan 2.183 organisasi sebagai responden dan 140 panel ahli. Pelaksanaan riset DGI 2024 di Indonesia dilakukan bekerja-sama dengan PIRAC dan melibatkan 202 organisasi dan 11 pakar.

DGI mengkaji empat sub-indeks nan dinilai bisa memperkuat alias melemahkan inisiatif sosial, ialah peraturan perundang-undangan, kebijakan pajak dan fiskal, kebijakan procurement (pengadaan peralatan dan jasa), serta ekosistem sektor sosial. Selain komponen di atas, DGI 2024 juga secara unik mengkaji digitalisasi sektor sosial. 

Mengacu pada Laporan DGI 2024, Hamid menyebut ada tiga tantangan utama nan dihadapi organisasi sosial dalam pemanfaatan teknologi digital, termasuk dalam menghadapi serangan siber. Temuan DGI 2024 menunjukkan ada 71 persen organisasi nan dananya nan terbatas, rendahnya skill staf ada 57 persen, serta minimnya support dari dermawan ada 51 persen. 

Oleh lantaran itu, Hamid menyebut mesti ada upaya untuk menyadarkan dan mendorong semua pihak untuk membantu mengantisipasi tantangan organisasi sosial ini. Dukungan itu bisa berupa membantu perangkat keras, lunak, meningkatkan kapabilitas staf organisasi, konektivitas internet, dan menyiapkan organisasi nan siap menghadapi serangan siber.

"Karena itu, kita perlu menyadarkan dan mendorong sektor swasta, filantropi maupun pemerintah untuk membantu mengatasi tantangan dihadapi Orsos dalam melakukan digitalisasi terhadap operasional dan layanannya. Selain memperkuat profesionalisme dan efektivitas kerja orsos, support ini juga membikin masyarakat sebagai penerima faedah bisa terlayani dengan baik" kata dia. 

Ada 95 Persen Organisasi Sosial Manfaatkan Digitalisasi

Direktur Penelitian Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS), Annelotte Walsh, mengatakan ada 95 persen organisasi sosial di Asia sudah memanfaatkan teknologi digital untuk melayani masyarakat. Tiga langkah utama nan paling banyak digunakan melalui telepon sebanyak 69 persen, pesan singkat 63 persen, dan video panggilan 57 persen.  

Selain itu, dia menyebut ada tiga negara di Asia nan organisasi sosialnya memanfaatkan teknologi digital untuk aktivitas alias rapat virtual, ialah Filipina, Indonesia, dan Malaysia.   

Kemudian, organisasi sosial itu nan memanfaat teknologi digital untuk penyusunan laporan finansial ada 80 persen, penyimpanan info finansial ada 90 persen, dan penyimpanan jenis info lainnya, seperti info donor, proyek, penerima manfaat  75 persen. 

“Penggunaan perangkat digital untuk tugas administratif, penjangkauan komunitas, dan penggalangan biaya juga semakin populer,” kata Annelotte saat aktivitas peluncuran sekaligus obrolan publik Laporan Doing Good Index (DGI) seperti dalam keterangan tertulis nan diterima Tempo pada Kamis, 4 Juli 2024.

Iklan

Annelotte menambahkan, organisasi sosial di Asia kekurangan sumber daya dalam memanfaatkan teknologi digital ini. Laporan Doing Good Index 2024 ini menemukan minimnya support pendanaan dan investasi bagi organisasi sosial dalam mengembangkan teknologi digital untuk operasional kerja. 

Dia menyebut nyaris separuh dari organisasi di Asia melaporkan bahwa donor mereka tak mendanai biaya teknologi digital. Padahal, support pendanaan tersebut sangat krusial bagi organisasi untuk merespons lanskap digital nan berubah dengan cepat.

“Minimnya support ini membikin sektor sosial di Asia tidak siap menghadapi perubahan teknologi di tengah pesatnya digitalisasi di area ini. Kami percaya sektor swasta maupun filantropi dapat memainkan peran krusial dalam memenuhi kebutuhan teknologi digital bagi sektor sosial,” kata dia. 

Annelotte menilai support pendanaan operasional serta bantuan untuk organisasi sosial dalam corak skill dan perangkat digital dapat membantu berinvestasi dalam mengembangkan kapasitas. Langkah ini dinilai bakal memaksimalkan support pelayanan organisasi sosial dalam membantu masyarakat. 

Pesat Digitalisasi Sektor Sosial di Indonesia 

Peneliti Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin, mengatakan sektor sosial di Indonesia juga mengalami digitalisasi secara pesat. Laporan DGI 2024 mengungkapkan bahwa pengelola organisasi sosial di tanah air mempunyai akses internet nan andal dan sigap di tempat kerja sebanyak 75 persen, menggunakan perangkat komputer alias tablet  ada 69 persen. 

Selain itu, organisasi sosial nan sudah mempromosikan profil dan karyanya di website sebanyak 74 persen, media sosial ada 94 persen, serta bulletin digital ada 53 persen. Mereka juga meningkatkan penggunaan teknologi digital untuk memberikan jasa secara online  ada 55 persen, mengintegrasikannya dengan operasional organisasi ada 57 persen, mengembangkan kerjasama ada 69 persen, dan memanfaatkan media sosial untuk promosi dan diseminasi info ada 75 persen. 

“Sebagian besar organisasi, 98 persen, melakukannya dengan menggunakan basic software dan hanya 43 persen nan menggunakan advance software,” kata dia. 

Sementara itu, Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan, Riza Imaduddin Abdali, juga menyoroti beberapa kebijakan mengenai filantropi dan inisiatif sosial nan sudah usang dan tidak bisa merespon perkembangan digitalisasi sektor sosial. Ia mencontohkan aktivitas penggalangan bantuan nan sebagian besar dilakukan secara digital menjadi tersendat dan tidak bisa dikembangkan secara optimal lantaran diatur oleh izin nan sudah tak relevan, ialah Undang-undang Nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang alias Barang (PUB). 

Riza menilai pemerintah tidak punya kesadaran dan sense of urgency untuk merevisi izin ini padahal filantropi tengah berkembang pesat di Indonesia. Apalagi, Riza menyebut penggalangan dan penyaluran bantuan juga kerap digelar sepanjang tahun merespons musibah nan terjadi. 

Riza mendesak agar izin ini segera direvisi agar bisa mendorong kemajuan sektor filantropi, khususnya dalam penggalangan donasi. "Kita tidak bisa bicara tentang pengembangan filantropi digital alias ancaman siber terhadap sektor sosial dan filantropi, sementara kerangka hukumnya sudah usang dan susah untuk diterapkan," katanya.

Pilihan Editor: Rumah Pensiun Jokowi Mulai Dibangun, Cek Harga Tanah di Sekitarnya

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis